Don't U Dare... Jangan Berani-Berani

Aryandari, Citra (2018) Don't U Dare... Jangan Berani-Berani. In: A Photobook Streetscenes Photography. BP ISI, Yogyakarta, pp. 74-82. ISBN 978-602-6509-42-0

[img] Text
Don't You Dare, Jangan Berani-Berani_CHAPTER. pdf.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (6MB) | Request a copy
Official URL: https://www.citraaryandari.com/

Abstract

Tulisan ini berawal dari perjumpaan saya dengan Prof. Soeprapto Soedjono di sebuah malam diawal bulan Juli. Setelah sekian lama kami tidak berjumpa, sebut saja SS Menceritakan tentang gagasan serta harapan dalam masa menanti akhir dari pengabdiannya sebagai professor di bidang fotografi. Buku foto bertajuk Street Scape diharap menjadi karya yang dapat diwariskan sebagai referensi pada dunia foto. Dalam merealisasikan buku tersebut SS mengajak beberapa akademisi muda untuk turut menyumbang gagasan dalam bentuk tulisan mengenai salah satu genre dalam dunia fotografi yang akhir-akhir ini sedang trend, yakni street photography. Pada malam itu SS menantang saya untuk turut meramaikan karyanya dengan menulis sesuatu yang berkaitan dengan street photography. Sebagai generasi yang hidup di era penuh tantangan dan quotes penuh semangat yang menghiasi hari di social media, seolah menjadi tabu untuk menjawab tidak, dan kemudian tantangan ini saya terima. Dalam proses penulisan tulisan ini saya merasakan pening bukan kepalang karena menulis sebuah kajian foto merupakan hal baru bagi saya. Kenekatan saya menerima tantangan menulis kajian foto pada akhirnya memacu diri saya mempelajari dunia foto secara akademik dengan sangat instan. Berbekal satu folder karya SS yang berjudul Street Scape saya mencoba melihat dan menginterpretasi secara bebas satu persatu foto yang dijepret dalam berbagai ruang. Jalanan sebagai ruang tanpa sekat tampak seperti panggung yang membebaskan apapun atau siapapun beraksi yang kemudian moment tersebut diabadikan dalam bentuk gambar. Semangat kebebasan ini saya tangkap sebagai ide dasar dari street photography. Melihat sesuatu yang mungkin orang lain tidak melihat dapat dianggap sebagai ekspresi subjektivitas diri (fotografer) yang menjadi determinan dalam street photography. Sebagai orang awam di dunia foto, ketika saya memulai mengerjakan tulisan ini dengan melihat karya SS saya teringat maskapai Air Asia, “Everyone Can Fly”. Dengan ongkos yang cukup bersahabat di kantong serta promo yang menarik menjadikan setiap orang dapat merasakan bepergian dengan pesawat begitu mudah, sehingga memungkinkan setiap orang untuk terbang. Meminjam kalimat yang merepresentasi maskapai Air Asia saya melihat ini juga terjadi dalam dunia fotografi. Kini, dengan kemajuan teknologi dunia foto yang dahulu sangat eksklusif menjadi terjangkau untuk semua kalangan. Siapapun bisa berfoto baik foto diri ataupun mengabadikan moment unik di sekitaran. William A Ewing Kurator dari New York Photo Festival mengatakan ‘bahwa kini semua telah berubah’. Bagaimana kita mengambil foto, memanipulasi, menyebarkan, menyimpan bahkan bagaimana kita berpose. Alat berubah dengan sangat cepat, menjanjikan warna lebih bersih, cerah dalam harga yang sangat murah. Telephone dapat digunakan sebagai kamera, mesin cetak ada dimana-mana dan layar dengan high definition memungkinkan untuk membuat karya dengan kualitas maksimal. Kemudahan yang ditawarkan teknologi menjadikan foto menjadi milik segala umat. Yang menarik kemudian bahwa siapapun dapat menjadi fotografer kini. Kepekaan membaca situasi merupakan modal dasar menjadi fotografer dalam genre street photography. Moment-moment unik dan menarik hadir sejalan dengan referensial subjective yang dimiliki fotografer. Bidikan SS dalam street scape tampak sebagai media ekspresi subjektif yang tidak lepas dari latarbelakangnya sebagai akademisi yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Membaca berbagai ruang dengan sudut pandang berkait dengan edukasi tampak dalam beberapa karya fotonya. Marie Laigneau dalam bukunya yang berjudul: Creating Impact, The fundamental of storytelling in street photography menyatakan ada beberapa kategori dalam Street Photography yang biasa dijumpai antara lain: Seeing possibilities, 
Embracing the moment,
Developing subjectivity, Transforming with light, Disrupting the harmony. Berbekal kategori yang ditawarkan Marie Laigneau, saya mencoba melihat kembali beberapa karya dari SS dalam Street Scape yang kemudian menarik perhatian saya untuk dibahas lebih lanjut yakni karya yang berjudul: Leg on Table, Lha Kog, No parking j..oz, dan Barcelona. Keempat judul tersebut menurut saya sangat sarat dengan pesan pendidikan. Karya Lha Kog dan No Parking j..oz menggambarkan ketidakpatuhan masyarakat akan sebuah papan himbauan. Dalam foto Lha Kog tampak dua orang perempuan asik duduk bermain hp ditempat yang bertuliskan dilarang duduk dan foto No parking j..oz menunjukkan pengendara sepeda motor tidur diatas motor yang diparkir didepan tulisan dilarang parkir. Ketidakpedulian akan sign ini menjadi moment memalukan ketika kemudian dibidik kamera dan terabadikan. Bidikan SS dalam kedua foto ini seolah mengingatkan dan berpesan kepada penikmat karyanya untuk selalu waspada dan peduli pada sekitar, atau aktivitas kita akan terekam dan tersebar. Karya Leg on Table dan Barcelona juga menunjukkan pesan serupa walau dalam ruang berbeda. Leg on Table mengabadikan moment seorang perempuan duduk dengan mengangkat kaki dan menaruhnya diatas meja di sebuah ruang publik. Karya Barcelona membidik dari belakang seorang perempuan yang dipangku oleh laki-laki dan tampak pantatnya. Dari dua karya ini tampak sekali subjektivitas SS sebagai pendidik dari timur yang memiliki referensi etika ketimuran seolah tidak terima atau justru mentertawakan situasi semacam ini. Duduk mengangkat kaki dan berpangku dengan lawan jenis di ruang public dianggap tidak pantas dalam etika timur menjadi moment memalukan yang perlu diabadikan, meskipun dari kedua gambar ini objek yang dibidik bukan seseorang yang berlatarbelakang timur dan terjadi pada ruang public yang bukan timur. Kepekaan SS dalam mengambil moment merupakan interpretasi kritis atas lingkungan dan relasi psikologis yang telah menubuh. Michael Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977) mengkaji mengenai mekanisme sosial, dan teoritik, di balik perubahan besar yang terjadi dalam sistem pidana barat pada abad modern. Meskipun berfokus pada dokumen sejarah pendisiplinan tubuh di Perancis, tapi apa yang ditulis oleh Foucault saya coba korelasikan dengan empat foto karya SS. Foucault menjelaskan sejarah hadirnya penjara sebagai ruang pendisiplinan tubuh. Penjara dengan desain dengan model panopticon membuat kesadaran dan visibilitas pada tahanan, yang memastikan berfungsinya kekuasaan secara otomatis. Desain panoptikon memungkinkan pengawasan seolah-olah dirasakan secara permanen. Foucault menyatakan bahwa bukan hanya penjara tetapi seluruh struktur hirarkal kini menerapkan struktur yang mirip dengan panoptikon, seperti sekolah, rumah sakit, pabrik, dll. Pada era seperti saat ini teknologi telah memungkinkan pengerahan struktur-sturuktur panoptic yang mungkin belum disadari masyarakat. Pengawasan melalui kamera cctv di ruang public merupakan salah satu bentuk pendisiplinan tubuh yang mengawasi hingga aspek terkecil tubuh manusia. Tubuh manusia pada dasarnya tak hanya seonggok daging, tubuh menjadi bagian dari atribut social dan identitas (Anthony Synott, 2007). Muatan simbolis dan kultural menubuh seiring dengan eksplorasi dari pergeseran jaman. Cara manusia memperlakukan tubuhnya sejalan dengan konstruksi budaya yang disepakati oleh social. Plato menyatakan bahwa ‘Tubuh adalah penjara atau makam jiwa’, ujaran ini pun diamini oleh Foucault dimana dia menyatakan bahwa tubuh merupakan mozaik yang rumit dan representasi atas kekuasaan. Kembali dalam konteks Street Photography, dimana tubuh hadir mewarnai ruang Jalanan sebagai ruang tanpa sekat seolah penjara yang selalu diawasi. Kemajuan teknologi yang mengintegrasikan kamera dengan handphone memungkinkan seseorang untuk saling mengintai segala aktivitas orang lain. Memotret moment unik dijalanan dan menyebarkan dalam media social dianggap cara mendisiplinkan tubuh supaya selalu waspada dan peduli terhadap sekitar. Maka jangan berani-berani kita beraksi di ruang public atau kamera akan membidikmu. (Camar,2017)

Item Type: Book Section
Creators:
CreatorsNIM/NIP/NIDN/NIDK
Aryandari, Citranidn0025077901
Uncontrolled Keywords: fotografi, kajian foto, street photography
Subjects: Fotografi
Fotografi > fotografi ekspresi
Divisions: Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Etnomusikologi
Depositing User: Dr Citra Aryandari
Date Deposited: 16 Feb 2023 03:46
Last Modified: 16 Feb 2023 03:46
URI: http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/13491

Actions (login required)

View Item View Item