Hanggar Budi Prasetya, Penulis (2015) Kajian wacinwa : silang budaya Cina-Jawa. Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
|
Text
WACINWA PRINT 1-40.pdf Download (264MB) | Preview |
|
|
Text
WACINWA PRINT 61-80.pdf Download (94MB) | Preview |
|
|
Text
WACINWA PRINT 81-96.pdf Download (85MB) | Preview |
|
|
Text
WACINWA PRINT 41-60.pdf Download (120MB) | Preview |
Abstract
Sejak didirikan tahun 1755, kota Yogyakarta senantiasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Interaksi antar berbagai golongan masyarakat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran kehidupan dan penghidupan masyarakat menunjukkan bahwa Yogyakarta merupakan kota budaya, kota pelajar, perdagangan, dan kota pariwisata. Dewasa ini, Jogja atau Yogyakarta merupakan tujuan wisata utama di Pulau Jawa, bahkan di Indonesia. Sebagai salah satu pusat budaya Jawa, Yogyakarta menghasilkan banyak karya seni pertunjukan, baik yang bersifat tradisional atau pun modern, inovatif dan kreatif. Proses perubahan dan pembauran menjadi hal penting di Yogyakarta karena berkaitan dengan dinamika sebuah kota. Sebagai sebuah kota modern, Yogyakarta memiliki dua keprajan atau kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Keduanya menjadi sebuah benteng tradisi budaya Jawa. Tradisi pemerintahan tradisional dengan pemerintahan kota seiring sejalan berjalan dengan tugas dan kewajiban menjaga tradisi serta tata-kelola perkotaan. Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I tahun 1755; sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Penggabungan kedua kerajaan tersebut menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta diprakarsai oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.185,80 km2 berpenduduk 3.5 juta jiwa, terdiri atas satu kotamadya, dan empat kabupaten yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Semenjak awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I (bertahta tahun 1755 - 1792) seni budaya sudah mendapat perhatian. Pertumbuhan seni budaya di istana bertambah pesat semenjak bertahtanya Sultan Hamengku Buwono II. Hal itu menyebabkan keraton menjadi pusat budaya istana. Selanjutnya, pada awal pertengahan abad ke-20, hampir bersamaan dengan kebangkitan pemuda, seni karawitan, wayang kulit, wayang wong, kethoprak, tari klasik Yogyakarta mendapat tempat di masyarakat. Sebuah badan seni dan kerajinan bernama Hermani, didirikan di Yogyakarta pada tahun 1908 oleh R.M. Jayadipura, R.M. Prawiradipura, R.L. Prawiraatmojo dan Lie Jing Kiem. Pada tahun 1919, badan tersebut berganti nama menjadi Mardi Guna, dengan menambahkan kegiatan seni karawitan dan tari. Upaya pengembangan seni budaya di Yogyakarta melalui badan kesenian Mardi Guna ini akhirnya dapat memotivasi masyarakat, baik dari etnik Cina maupun Jawa untuk ikut serta memeliharanya. Peran istana atau keraton Yogyakarta dalam perkembangan seni sangat luar biasa. Masa bertahtanya Sultan Hamengku Buwono II (bertahta 3 kali yaitu tahun 1792 – 1810, 1811-1812, dan 1826 - 1828), Sultan Hamengku Buwono V (tahun 1822 berusia 2 tahun naik tahta dengan perwalian, baru memegang sendiri tahun 1836-1855), Sultan Hamengku Buwono VII (bertahta 1877 – 1920), dan Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939) merupakan masa kejayaan seni budaya istana. Berbagai aktifitas kesenian muncul pada masa-masa pemerintahan tersebut, seperti terciptanya tari Bedhaya Semang tahun 1792, memperbaiki gamelan, membuat wayang kulit, mencipta lakon wayang wong, dan mementaskan kesenian tradisional lainnya (Harianto Soembogo, 1990: 181). Di dalam istana Kesultanan Yogyakarta, pada masa HB I sampai akhir abad ke-18 wayang orang mempunyai fungsi ritual, dianggap sakral. Namun pada tahun 1918 terjadi perubahan. Sultan HB VII mengizinkan seni keraton, wayang orang, dipergelarkan di luar tembok istana (R.M. Soedarsono, 1989a: 35). Beliau mendukung kedua putranya, yaitu Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma mendirikan organisasi Kridha Beksa Wirama pada tanggal 17 Agustus 1918 sebagai wadah tempat belajar, berlatih tari dan karawitan (RM Soedarsono, 1989b: 6). Pada masa Sultan HB VII seni tari istana mengalami kemajuan. J. Groeneman, seorang peneliti Belanda yang ada di Yogyakarta menulis bahwa pada tahun 1899 sempat menyaksikan pertunjukan wayang wong dengan busana mewah yang diselenggarakan secara megah selama empat hari empat malam, menelan biaya sekitar 230.000 gulden lebih dan dibanjiri ribuan penonton (Soedarsono, 1988:2). Kesenian kethoprak digemari oleh berbagai kalangan masyarakat di Yogyakarta, seperti kalangan bangsawan, keturunan Belanda, juga masyarakat Tionghoa. Para penggemar tersebut antara lain, G.P.H. Mangkukusumo, Ki Ageng Suryomentaram, Bodewyn, Liem Ting Lok, Nyo Piet, dan Lie Jing Kiem (Suhatno, 2001: 59). Cerita yang dipentaskan dalam kethoprak biasanya diambil dari cerita rakyat, babad, legenda, cerita sejarah, bahkan cerita asing misalnya kisah Amir Hamzah, cerita dari Cina, dan lain sebagainya. Lie Jing Kiem mempunyai kecintaan terhadap klenengan, karawitan, dan pewayangan, yang diwarisi dari ayahnya Lie Ngo Gie. Pada tahun 1979, Urip Santoso atau Liem Eng Jiem (waktu itu berusia 57 tahun) mengatakan bahwa semasa hidupnya Lie Jing Kiem (1879 – 1929) bersama para pemerhati budaya Jawa berupaya mengembangkan dan memajukan kesenian tradisional Jawa di Yogyakarta. Sultan HB VIII memberi hadiah rebab untuk melengkapi koleksi gamelan dan wayang kulit yang dimiliki Lie Jing Kiem.
Item Type: | Book | ||||
---|---|---|---|---|---|
Creators: |
|
||||
Uncontrolled Keywords: | wayang, cina-jawa, wacinwa | ||||
Subjects: | Pedalangan | ||||
Divisions: | Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Pedalangan | ||||
Depositing User: | agus tiawan AT | ||||
Date Deposited: | 06 Apr 2017 08:53 | ||||
Last Modified: | 06 Apr 2017 08:53 | ||||
URI: | http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/1510 |
Actions (login required)
View Item |