KONSTRUKSI MITOS MASKULINITAS DALAM ARENA BAJIDORAN NAMIN GRUP DI CICANGOR KARAWANG JAWA BARAT

Saepudin, Asep (2024) KONSTRUKSI MITOS MASKULINITAS DALAM ARENA BAJIDORAN NAMIN GRUP DI CICANGOR KARAWANG JAWA BARAT. Doctoral thesis, ISI Yogyakarta.

[img] Text
Konstruksi Maskulin_Makalah Ujian Terbuka.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (1MB) | Request a copy

Abstract

This study aims to analyze the construction of masculinity in the Namin Group bajidoran in Karawang. The problem starts from the phenomenon of thick masculine practices in bajidoran. Bajidoran has been known as an entertainment art that presents Sundanese dance and karawitan aesthetics. But behind that, it turns out that Bajidoran has the complexity of power struggles and masculine dominance among individuals who are members of the Bajidoran Lovers Community (KPB). Uniquely, men and women carry out the struggle for power and domination. This phenomenon is very interesting to examine: why the Bajidoran arena is thick with masculinity practices, how masculinity construction occurs, what texts makeup masculinity, and why myths and ideologies of masculinity are constructed and reproduced by Namin Group and KPB. The study used R.W. Connell's theory of masculinity, Pierre Bourdieu's arena, and the myth of Roland Barthes. Masculinity theory is used to understand various texts and practices of masculinity related to masculine bodies and actions; arena theory is used to analyze the struggle for power and dominance among KPBs who have different capitals, habitus, arenas, and social classes; teori myth is used to analyze the meaning of masculinity for KPB. The relationship between the three theories is used to dismantle the process of masculinity construction in the realm of bajidoran as part of interdisciplinary research. A qualitative method with a new ethnographic approach is used in this study, where a researcher values the experience and reality of the person under examination, even though it is radically different from himself. The research applies three new ethnographic characteristics: honesty to other facts, self-reflection, and polyvocality, namely, attention to the reality of life/a deeper structure. Literature studies, observations, interviews, and documentation are used to collect research data in Karawang and its surroundings. The results of the analysis obtained data that: 1) masculinity is very thick in bajidoran because: first, it is constructed by culture, daily practice, and historical, dialectical results from present and past KPB experiences. Second, situations and conditions in the bajidoran arena (relations and social interactions) can produce various masculinity practices. 2) The process of masculinity construction goes through seven stages: production, socialization, appreciation, internalization and externalization, relations and interactions, staging, and formation. Eight factors that construct masculinity, namely pattern/sequence, words mc and pesinden, ibing pencug, kendang, shawl, economic capital, liquor, and elements of musical. 3) The myth of masculinity and ideology continues to be produced and reproduced by Namin Group because it is needed to fulfill various interests: economy, space of expression, and KPB speech tools to the public. This study concludes that the staging of masculinity in the Namin Group is a tool of communication between KPB and various interests, including economic interests, prestige, and display. Masculinity is a fluid and open expression of masculine practices in specific contexts, which is unacceptable in everyday life outside the bajidoran stage. Keywords: masculinity, domination, myth, bajidor, pencug ABSTRAK Tujuan penelitian ini, untuk menganalisis konstruksi maskulinitas pada bajidoran Namin Grup di Karawang. Permasalahan berawal dari fenomena kentalnya praktik maskulin dalam bajidoran. Bajidoran selama ini dikenal sebagai seni hiburan yang menyajikan estetika tarian dan karawitan Sunda. Namun dibalik itu, ternyata bajidoran memiliki kompleksitas rebutan kuasa dan dominasi maskulin di antara individu-individu yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Bajidoran (KPB). Uniknya, rebutan kuasa dan dominasi dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti, mengapa arena bajidoran kental dengan praktik maskulinitas, bagaimana terjadinya konstruksi maskulinitas, teks-teks apa yang membentuk maskulinitas, serta mengapa mitos dan ideologi maskulinitas dikonstruksi dan direproduksi oleh Namin Grup dan KPB. Penelitian ini menggunakan teori maskulinitas R.W. Connell, arena Pierre Bourdieu, dan mitos Roland Barthes. Teori maskulinitas digunakan untuk memahami berbagai teks dan praktik maskulinitas yang terkait dengan ketubuhan dan tindakan maskulin; teori arena digunakan untuk menganalisis rebutan kuasa dan dominasi di antara KPB yang memiliki modal, habitus, arena, dan kelas sosial yang berbeda; teori mitos digunakan untuk menganalisis makna maskulinitas bagi KPB. Relasi ketiga teori tersebut digunakan untuk membongkar proses konstruksi maskulinitas dalam bajidoran sebagai bagian dari penelitian interdisiplin. Metode kualitatif dengan pendekatan etnografi baru digunakan dalam penelitian ini, dimana seorang peneliti menghargai pengalaman dan realitas orang yang diteliti, meskipun secara radikal berbeda dengan dirinya. Peneliti menerapkan tiga karakteristik etnografi baru, yaitu kejujuran pada fakta lain, refleksi diri, dan polivokalitas, yaitu perhatian terhadap realitas hidup/struktur yang lebih luas. Studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi, digunakan untuk mengumpulkan data penelitian di Karawang dan sekitarnya. Hasil analisis diperoleh data bahwa: 1) maskulinitas sangat kental dalam bajidoran karena: pertama, dikonstruksi oleh budaya, praktik sehari-hari, dan historis, hasil dialektis dari pengalaman KPB masa kini dan masa lalu. Kedua, situasi dan kondisi di arena bajidoran (relasi dan interaksi sosial) berpotensi besar untuk menghasilkan berbagai praktik maskulinitas. 2) Proses konstruksi maskulinitas melalui tujuh tahapan: produksi, sosialisasi, apresiasi, internalisasi dan eksternalisasi, relasi dan interaksi, pemanggungan, dan pembentukan. Ada delapan faktor yang mengkonstruksi maskulinitas, yaitu pola/tatanan, kata-kata mc dan pesinden, ibing pencug, kendang, selendang, modal ekonomi, minuman keras, dan unsur musikal. 3) Mitos maskulinitas dan ideologi, terus diproduksi dan direproduksi oleh Namin Grup, karena dibutuhkan untuk memenuhi berbagai kepentingan: ekonomi, ruang berekspresi, serta alat wicara KPB kepada publik. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemanggungan maskulinitas dalam bajidoran Namin Grup merupakan alat wicara/komunikasi KPB dengan berbagai kepentingan, baik kepentingan ekonomi, prestise, gengsi, dan ajang pamer. Pemanggungan maskulinitas merupakan ekspresi praktik maskulin yang cair dan terbuka dalam konteks tertentu, yang tidak dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari di luar panggung bajidoran. Kata kunci: maskulinitas, dominasi, mitos, bajidor, pencug

Item Type: Thesis (Doctoral)
Creators:
CreatorsNIM/NIP/NIDN/NIDK
Saepudin, Asepnidn0015067708
Department: Pascasarjana
Additional Information : Makalah Disampaikan dalam Ujian Terbuka untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Seni Program Doktor Pascasarjana ISI Yogyakarta, Pada Tanggal 5 Januari 2024 Di Gedung Concert Hall Pascasarjana ISI Yogyakarta
Uncontrolled Keywords: maskulinitas, dominasi, mitos, bajidor, pencug
Subjects: Karawitan
Etnomusikologi
Depositing User: Asep Saepudin
Date Deposited: 11 Jan 2024 08:37
Last Modified: 11 Jan 2024 08:37
URI: http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/16078

Actions (login required)

View Item View Item