Rina Martiara, -
(2014)
Cangget : Identitas Kultural Lampung Sebagai Bagian Dari Keragaman Budaya Indonesia.
BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta.
ISBN 978-979-8242-67-0
Abstract
Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan menganalisis cangget terbuka tirai budaya masyarakat Lampung sebagai pendukungnya. Melalui cangget sebagai wujud seni atau performance dapat terbaca nalar kemanusiaan (humand mind) masyarakatnya. Bagi orang Lampung cangget adalah upacara perkawinan (begawi cakak pepadun), dan ciri dari upacara perkawinan orang Lampung adalah cangget. Hubungan erat di antara keduanya menghadirkan oposisi dan relasi yang dipakai guna membuka nilai budaya dan identitas kultural masyarakat Lampung. Cangget adalah tarian yang dilakukan oleh seluruh putri penyimbang (pemimpin adat) di dalam sesat (balai pertemuan adat), sebagai wakil dari kepenyimbangan ayahnya. Pada upacara perkawinan cangget selalu dihadirkan bersama igol (ada yang menyebut igel, atau tigel). Igol adalah tari yang dilakukan oleh laki-laki sebagai ekspresi kejantanan yang diungkapkan dengan gerak-gerak pencak, dan gerakan mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil berputar-putar. Pada masa lalu igol dikenal juga dengan nama tari perang. Dalam Recako Wawai Ningek –yakni cerita turun temurun yang dilantunkan melalui syair--, igol dilakukan setiap kali para penyimbang selesai bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan atau memutuskan suatu bentuk persetujuan adat—baik tertulis maupun tidak—guna dijadikan pegangan dalam melaksanakan adat. Sebagai ungkapan kegembiraan tersebut mereka menari bersama (mecak wirang). Gerak- gerak mecak atau pencak ini dianggap merupakan dasar gerak igol. Igol dianggap juga sebagai sisa adat mengayau kepala manusia sebagai prasyarat melaksanakan upacara cakak pepadun, yang biasanya dilaksanakan bersamaan dengan upacara perkawinan adat. Pada upacara cakak pepadun, laki-laki tua dan muda menari-nari dengan gerakan tangkas berputar-putar sambil menendangi labu air bulat bergambar kepala manusia. Upacara ini disebut juga dengan sepak uluw (sepak kepala). Sisa adat mengayau kepala manusia pada masyarakat Lampung masih dapat ditelusur dengan bukti ditemukannya kuburan korban irau (disebut irawan) di daerah Menggala. Pengayauan juga merupakan penguji kejantanan seorang pemuda untuk menikahi gadis tertentu dalam perkawinan jujur. Biasanya korban irau adalah orang yang dianggap sebagai musuh kampung tersebut. Bila seorang pemuda berhasil membunuh orang yang dianggap sebagai perusuh kampung, maka penduduk akan berkumpul dan menari-nari bersama. Oposisi binair di dalam upacara perkawinan ini terdapat pada nilai budaya dan struktur sosial. Oposisi binair pada nilai budaya adalah cangget dan mupadun; laki-laki dan perempuan; pi-il pasenggiri dan liyom. Mupadun dan pi-il pasenggiri adalah rasa harga diri, dunia laki-laki, yang harus diperjuangkan oleh setiap laki-laki Lampung. Cangget dan liyom adalah rasa malu, dunia perempuan, yang harus dijaga dan dipertahankan oleh semua orang Lampung. Pada struktur sosial oposisi binairnya adalah pihak laki-laki dan pihak perempuan; pihak penerima anak dara dan pemberi anak dara; pihak tuan tumah dan tamu. Dari pasangan oposisi binair ini kemudian menghadirkan model lain, yakni segitiga tegak yang merupakan hasil dari ‘mengawinkan’ pasangan oposisi tersebut yang oleh masyarakat Lampung tercermin dalam falsafah ‘seruas tiga buku, tiga genap dua ganjil’. Pada pemahaman orang Lampung model segitiga tegak ini disebut sebagai segitiga tungku batu, yang melambangkan ‘kekuatan’ dan ‘sumber penghidupan’. Sebagai ‘sumber kehidupan’ sebuah tungku merupakan tempat untuk menanak. Pada masa lalu umumnya tungku dibuat dalam formasi tiga buah batu agar belanga yang diletakkan di atasnya tidak terguling. Tungku tiga batu, --sebagai lambang tempat memasak ‘sumber kehidupan’—dibuat dalam formasi tiga agar ‘kuat’. Kekuatan tiga batu menopang kedudukan orang Lampung yang ditegakkan di atas tiga adat, yakni adat cepala-adat pengakukadat kebumian; dan kesempurnaan orang Lampung ditegakkan atas tiga hal, yakni benuwa-begawi-cakak mekah. Tungku tiga batu diasumsikan juga sebagai ‘perkawinan’ dikarenakan menjadi tempat bertemunya dua hal yang berbeda yang disatukan di dalam belanga sebagaimana pribahasa mengatakan, “asam di gunung, garam di laut, akhirnya bertemu dalam belanga” melambangkan bertemunya dua unsur yang disatukan dalam perkawinan. Perkawinan adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Harmoni tidak melenyapkan dua entitas, tetapi mengawinkannya, yang akan melahirkan entitas baru. Tidak ada yang dikalahkan, tidak adanya yang dimenangkan. Keduanya pemenang, bahkan melahirkan hidup baru. Falsafah seruas tiga buku, tiga genap dua ganjil ini mengandung makna bahwa genap bukan pada bilangan dua, melainkan justru pada bilangan tiga, diibaratkan bagai sebuah jari tangan yang terdiri dari tiga buku jari, maka baru pada jumlah tiga buku lah ruas jari tangan dapat berfungsi untuk memegang benda. Pemahaman ‘ganjil’ bukan pada makna deret bilangan, melainkan ‘ganjil’ dalam arti ‘aneh’ karena tidak sesuai dengan hal-hal yang menjadi ketentuan umum. Adat cepala berisikan kehormatan pribadi yang tercermin di dalam perilaku keseharian seseorang, adat pengakuk adalah kehormatan keluarga yang ditentukan karena perkawinan, dan adat kebumian adalah kehormatan seluruh kepenyimbangan berdasarkan kekerabatan atau garis keturunan. Artinya nilai kehormatan seseorang di masyarakat sangat ditentukan oleh perilakunya (adat cepala); keluarga dan pertalian perkawinan (pengakuk) –dikarenakan nilai kehormatan seseorang juga ditentukan oleh siapa wanita yang dinikahinya--; dan kaum kerabatnya (adat kebumian). Kesempurnaan hidup yang ingin dicapai oleh orang Lampung adalah benuwa (memiliki rumah); begawi (mengawinkan anak) dan cakak mekkah (naik haji ke Mekah). Dari falsafah ini terlihat bahwa cangget menjadi wujud ungkap nilai-nilai utama dan kesempurnaan hidup orang Lampung. Perkawinan adalah pusat dari siklus hidup orang Lampung. Hanya mereka yang telah menikah yang diizinkan untuk benuwa, dan orang yang telah benuwa (berharta) namun belum melaksanakan begawi dianggap belum mencapai kesempurnaan hidup, dikarenakan ia masih dianggap ‘kurang sempurna’ bila masih memiliki anak yang belum menikah. Pada falsafah ini, ‘tiga’ hal yang membuat seorang Lampung menjadi ‘genap’ sebagai manusia ‘sempurna’. Cangget sebagai wujud dari simbolisasi yang dilakukan oleh masyarakat Lampung tidak terlepas dari upaya orang Lampung untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka hadapi, yang tertuang dalam perilaku ritual yang mengiringinya yaitu upacara perkawinan. Melalui aktivitas begawi adat inilah orang Lampung menemukan identitas budaya mereka; menemukan keLampungan mereka, sekaligus melestarikan dan meneguhkan budaya serta identitas Lampung itu sendiri. Kebudayaan biasanya dipahami sebagai sistem nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur tingkah laku sekelompok orang. Hal yang jarang dikatakan adalah bahwa kebudayaan juga merupakan seperangkat kepercayaan bersama yang dianut sekelompok orang dan mengikat mereka dalam kebersamaan sebagai kelompok. Kepercayaan ini menyangkut misalnya kesamaan asal-usul, kesamaan sejarah, kesamaan tokoh-tokoh yang dihormati, upacara-upacara yang dianggap penting, atau hari-hari yang dianggap baik dan buruk dalam melakukan hal-hal penting. Bagi orang Lampung, di mana asal- usul dasar genealogis sebagai sebuah kelompok lebih dipentingkan baru kemudian faktor teritorial, menyebakan cangget menjadi sebuah ‘tempat’ di mana sebuah identitas didapat, ‘tempat’ sebuah ‘nama’ dan ‘keluarga’ memiliki arti, ‘tempat’ di mana aktualisasi diri sebagai pribadi diperhitungkan. Peristiwa Cangget membuat orang Lampung kembali ke wilayah sosial dan budayanya, sebuah proses yang membuat orang Lampung merasa dirinya sebagai orang Lampung—kembali menjadi bagian dari kelompok itu. Bagi orang Lampung, cangget adalah jati diri, sebuah identitas yang melekat di diri. Cangget dan perkawinan adalah ‘rumah’ tempat untuk kembali dan menemukan “kejati-dirian”, sebuah ‘tempat’ di mana sebuah identitas didapat kembali, sebuah nama diperhitungkan. Cangget adalah sebuah kampung, sebuah halaman, tempat di mana sebuah sejarah bermula, awal sebuah perjalanan, tempat di mana asal asul diperhitungkan dan sejarah keluarga dihubungkan. Sebuah tempat untuk kembali, sebuah nama untuk kembali dikenang. Seni pertunjukan pada masyarakat Lampung tidak terlepas dengan peristiwa adat yang mengiringinya, bahkan dapat dikatakan sebagai peristiwa adat itu sendiri (begawi). Bersamaan dengan perkawinan maka beralihlah kedudukan kedua pengantin dengan cakak pepadun (mupadun), yakni naik tahta adat. Penelitian ini adalah mengupas cangget secara mendalam guna menemukan ciri ‘seni’ tersebut untuk dipakai guna menemukan pola-pola persamaan dan perbedaan kebudayaan Nusantara yang bhinneka. Dalam hal ini penelitian ini memilih mengenal ciri budaya masyarakat Lampung melalui cangget untuk mengetahui bagaimana pola yang terdapat di dalam budaya Lampung yang memungkinkan ditemukan pula dalam budaya-budaya lain di Indonesia. Hal ini akhirnya diharapkan dapat membuka pemahaman akan keberbedaan budaya yang menghasilkan kearifan pandangan dalam menilai budaya lain. Pemahaman ini akan membuka pengertian untuk tidak selalu meminta untuk ‘dipahami’ dari sudut pandang budaya kita sendiri, namun menafikan nilai- nilai budaya lain. Hal yang lebih menyedihkan adalah selama ini kita selalu menilai budaya lain dengan sudut pandang budaya kita. Perspektif Levi-Strauss memungkinkan para ahli antropologi dapat melihat pola hutan ‘budaya’ di Indonesia yang beragam ini. Tulisan ini memberikan manfaat lain, yakni pemahaman
multikultural. Bagi Indonesia, hal ini memberikan sumbangan bagi
pemahaman akan keberanekaragaman budaya masyarakatnya yang
plural. Pemahaman akan masyarakat Lampung dari sudut pandang
masyarakat tersebut kiranya membuka nalar kemanusiaan orang
Lampung dalam tataran kognitif dan empirik dalam menghadapai
kehidupan. yang oleh karenanya memberikan pemahaman akan
sisi bathin orang Lampung yang selama ini belum terlalu banyak
dikenal.
Diakui atau tidak, selama ini kebijakan politik budaya selalu
memakai pola budaya tertentu untuk menilai budaya yang lain.
Kebijakan politik budaya selama ini selalu diringkus dalam satu kata
persamaan. Kenyataan ini kemudian diperparah lagi dengan suatu
standarisasi pada pola nilai yang dianggap ‘unggulan’, ‘adiluhung’,
sehingga yang tidak adiluhung harus dibuat seakan-akan menyerupai
adiluhung, dengan pembinaan, penataran, lomba-lomba, dan festivalfestival.
Negara kemudian meletakkan nilai-nilai budaya ‘unggulan’
tersebut sebagai standardisasi untuk ‘menilai’ semua budaya di
Indonesia.
Orde Baru memakai pola sentralistis --‘pusat sebagai titik
utama’-- dalam mengelola budaya Indonesia yang beragam. Hal ini
melahirkan kebijakan untuk selalu meringkus perbedaan dalam kata
persatuan, yang menghilangkan keberagaman. Indonesia, sebagai
negara yang berusaha meletakkan kebijaksanaan nasional dalam
budaya yang multikultur, ternyata menerjemahkan kebhinekaan dalam
cara pandang yang keliru. Pada kenyataannya slogan persatuan dan
kesatuan ini lebih dimaknai sebagai ‘keseragaman’ uniformity dan
sameness, dan bukan unity dan oneness. Semboyan ‘berbeda-beda tapi
satu’ menyisakan banyak cerita bagaimana kebudayaan diperlakukan
salah selama kurang lebih setengah abad. Istilah bhinneka tunggal
ika tidak hanya menunjukkan adanya suatu tujuan untuk mencapai
suatu tatanan masyarakat yang menyatu, tetapi menyembunyikan
sikap politik yang tegas untuk menegakkan kesatuan dan persatuan
secara total tanpa dapat diganggu gugat. Setiap gugatan atas gerakan
nasional untuk mewujudkan kebhinnekatunggalikaan itu
telah
berarti suatu tindakan subversif. Sikap politik yang tanpa
kompromi itu kemudian telah melahirkan sebuah drama tersendiri
bagi keberadaan kebudayaan di Indonesia yang sangat beragam dan
tersebar di seluruh Nusantara. Bhinneka Tunggal Ika dibutuhkan
untuk mengikat pluralisme budaya Indonesia, namun kesalahan
pengelolaan keragaman budaya ini telah melahirkan akibat-akibat
yang buruk. Sebagaimana kenyataan sosial di dalam kebudayaan
memperlihatkan bagaimana nilai-nilai homogenitas diutamakan
dan didorong. Proses penyatuan dan penyeragaman kebudayaan
di Indonesia kemudian berimplikasi pada lahirnya pola hubungan
sosial dan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menjadi dasar
dari lahirnya berbagai persoalan. Kebhinnekatunggalikaan telah
melahirkan suatu politik budaya yang represif yang melahirkan
berbagai bentuk resistensi dan konflik yang laten.
Indonesia selama ini dicirikan sebagai negara bangsa yang
plural, sebuah negara yang terdiri dari 17.000 pulau, dan 205 suku
bangsa. Keberadaan berbagai etnis yang jumlahnya begitu besar dan
tersebar di berbagai wilayah geografis yang luas dapat menjadi gambaran
betapa kompleksnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Perbedaan
etnis dan geografis menunjukkan cara pandang yang berbeda
dalam berbagai hal; memperlihatkan berlakunya sistem nilai yang
berbeda-beda antara kelompok satu dengan kelompok yang lain; dan
juga menegaskan adanya tingkah laku sosial, ekonomi dan politik
yang berbeda satu dengan yang lain. Harus disadari (kembali) bahwa
Indonesia adalah negara kepulauan sangat berbeda dengan ekologi
negara benua, ataupun negara semenanjung. Indonesia adalah negeri
seribu pulau, menciptakan ekologi yang berbeda, spesifik negeri
kepulauan. Anak-anak negeri ini harus disadarkan bahwa mereka
tidak pernah benar-benar dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Meskipun terpisah pulau, namun tepian bukanlah batas tapi
justru pejumpaan. Selat, --laut sempit itu memang memisahkan--
namun kita selalu dapat melihat pulau-pulau di seberang itu, menyebabkan
kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak pernah merasa
sendirian. Banyak peristiwa yang sesungguhnya menyatakan kita
adalah bangsa yang memandang yang ‘lain’ dengan takzim. Gempa
bumi Bantul, 27 Mei 2006, merupakan ekspresi bagaimana sesungguhnya
perasaan itu masih saling mengait. Memandang yang lain
bukan sebagai ‘the other’ tetapi sebagai liyan –pembeda untuk saling
melengkapi-- melahirkan perasaan budi baik. Budi baik terbit
dari sebuah senyum, saat kita melihat hidup sebagai panggilan untuk
memandang liyan dengan ramah, takzim, tanpa pamrih. Pernyataan
mengenai perbedaan sebenarnya justru penting dikarenakan kita
mengakui adanya kesamaan di antara kita. Pembedaan merupakan
salah satu pondasi untuk melakukan pemaknaan. Tanpa pembedaan
segala sesuatu akan tanpa makna, mati. Dengan demikian, membedakan,
dan jangan lupa –meletakkan perbedaan dalam satu tataran
kesamaan tertentu—merupakan langkah pembentukan makna, dan
melalui proses itu manusia mengambil sikap, menetapkan posisi
atas aneka ragam fenomena yang dihadapi dan bertindak terhadapnya.
Dengan sudut pandang budaya sebagai pisau dalam menganalis
identitas masyarakat diharapkan akan menumbuhkan pemahaman
akan sebuah identitas budaya dari sisi pandang pendukung budaya
tersebut.
Dalam pertaliannya dengan konseptualisasi kebudayaan inilah,
pencarian nilai-nilai ‘ke-Indonesiaan’ seseorang dibutuhkan dengan
menggali teks budaya dan mengaitkan konteks pada masa lampau dan
mencari titik temu di masa sekarang. Di awal kebangkitan nasional
cita-cita pendiri bangsa ini adalah melihat diri sebagai bagian dari
generasi yang didera oleh masa depan yang hendak menciptakan
sesuatu yang baru dari sebuah kondisi terjajah, terkebelakang,
terhina; sesuatu yang bukan lagi bisa disebut sebagai ‘Jawa, Melayu,
Ambon’. Oleh karenanya makna kesetaraan, kesejajaran, bukan
lagi identitas yang menunjukkan lapisan sosial, melainkan sebuah
‘identitas horizontal’ sebagaimana kata ‘Melayu’ dimaknakan. Nama
ini menjadi penanda dalam pengelompokan sosial yang berbedabeda
tetapi setara—terutama dalam pandangan kekuasaan kolonial
orang Eropa dalam memandang bangsa ini.
Maka kehendak membebaskan diri dari kolonialisme dan
pandangan yang membekukan, merupakan bagian dari pembebasan
itu. Sejarah bangsa ini sebagai ‘negara seribu kepulauan’, tidak bisa
disamakan dengan negara-negara di semenanjung, terlebih negara
di benua. Sejarah bangsa ini adalah sejarah ‘para musyafir lata’,
‘para pejalan yang tidak punya apa-apa selain kebebasannya dalam
menjelajah’. Indonesia lahir dari penjelajahan itu. Sebab itulah
nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengangkat
milik yang diwariskan masa lalu, baik dalam wujud candi maupun
ketentuan biologi. Mungkin itu sebabnya ‘Indonesia’ dan ke-‘Indonesia’-
an selalu terasa genting, tapi dengan itu justru punya makna
yang tak mudah disepelekan. Pengakuan “bertumpah darah satu,
berkebangsaan satu, berbahasa satu, --Indonesia—” yang tumbuh
sebagai hasil gerakan nasionalisme dari permulaan abad ke-20
yang berjiwa anti kolonialisme merupakan konsensus nasional yang
memiliki daya tiada terkira dalam mengintegrasikan masyarakat
Indonesia. Ia merupakan kesadaran nasional yang menyebabkan
penduduk kepulauan Nusantara merasa sebagai ‘satu’ bangsa, tidak
saja di dalam artian hukum, melainkan lebih-lebih sebagai kenyataan
psikologis yang membedakan apakah seseorang termasuk sebagai
warga dari bangsa Indonesia atau tidak. Sehingga, janganlah sekalikali
mau disebut ‘Indon’ untuk siapapun anak negeri ini, tetapi
sebutlah ‘aku’ dengan lantang sebagai ‘Indonesia’. Oleh karenanya
pengertian akan perbedaan, akan menjadikan kita memahami makna
perbedaan. Perbedaan bukan lagi harus dilihat sebagai ancaman, tapi
justru sesuatu yang saling melengkapi. Perbedaan dipakai sebagai
alat pembanding yang menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kita
saling membutuhkan. Kita harus mulai merasakan kedekatan dalam
perbedaan, hingga tanpamu aku bukanlah apa-apa dan bukanlah
siapa-siapa. Tanpamu aku tidak menjadi manis, karena kau cantik.
Tanpamu aku bukan si hitam, karena kau putih. Hingga akhirnya
anak-anak Indonesia akan berkata, “Kami bangga menjadi anak
Indonesia, karena kami berbeda dengan anak yang bukan Indonesia.
Oleh karena kami punya Aceh, Batak, Nias, Minang, Palembang,
Bengkulu, Jambi, Lampung, Bangka-Belitung, Betawi, Sunda, Banten,
Jawa, Osing, Raas (Madura), Dayak, Melayu, Papua, Ternate,
Ambon, Bugis, Makassar, Flores, Tidore, Manado, Bali, Sasak,
Bajau. Jayalah Indonesia. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya,
untuk Indonesia Raya!”.
Actions (login required)
|
View Item |