Lakon Bra Tayuda Versi Jombor Sebuah Kajian Struktural

Krystiadi, NIM. 0310063016 (2010) Lakon Bra Tayuda Versi Jombor Sebuah Kajian Struktural. Skripsi thesis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

[img]
Preview
Text
BAB I.pdf

Download (8MB) | Preview
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (36MB) | Request a copy
[img] Text
BAB III page 229.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (397kB) | Request a copy
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (37MB) | Request a copy
[img]
Preview
Text
BAB IV.pdf

Download (3MB) | Preview
[img] Text
LAMPIRAN.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (3MB) | Request a copy
Official URL: http://lib.isi.ac.id

Abstract

Lakon Bratayuda versi Jombor yang dipentaskan oleh Kristiaji yang terekam oleh kaset Compact Disc merupakan salah satu dari versi lakon wayang dalam tradisi pewayangan gaya Surakarta. Hal tersebut terlihat dalam penggunaan bahasa, sulukan, dhodhogan-keprakan, gendhing iringan dan caking pakeliran. Untuk memperoleh teks wayang Bratayuda versi Jombor yang dipakai sebagai bahan kajian, dilakukan transkripsi pentas wayang Bratayuda versi Jombor. Tujuan transkripsi ini selain sebagai bahan kajian juga berfungsi sebagai dokumentasi salah satu versi lakon wayang tradisi pewayangan gaya Surakarta. Berbagai hal yang berkaitan dengan pementasan lakon Bratayuda versi Jombor seperti lakuan dalang serta iringan yang meliputi, sulukan, kombangan, janturan, pocapan, ginem, dhodhogan-keprakan, genderan dan vareasi penggunaan iringan wayang. Semua ditranskripsi menggunakan tanda-tanda tertentu sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Penggunaan tanda-tanda itu akan mernbantu pernbaca dalam memaharni keseluruhan pentas lakon wayang Bratayuda versi Jornbor sebagai satu kesatuan yang utuh dan bahan apresiasi. Pada dasamya cerita lakon Bratayuda mempunyai susunan yang sama dengan cerita pada umurnnya. Sebuah cerita disusun oleh pelaku, perbuatan dan penderita. Pelaku dalarn cerita lakon Bratayuda versi Jombor tidak selalu melakukan perbuatan secara langsung. Terkadang, perbuatan dilakukan oleh tokoh lain di luar dirinya. Perbuatan atau tindakan dalam cerita wayang klulit purwa bisanya berupa tindakan perjalanan , penculikan, pencarian, pembunuhan atau perang dan sebagainya. Penderita dalam cerita lakon wayang kulit purwa tidak selalu pihak yang menjadi target sasaran. Seorang wakil pelaku terkadang dapat menjadi pihak penderita. Penderita dalam cerita lakon wayang kadang kala kehadirannya tertunda di adegan yang lain dan dalam kerangaka pathet yang berbeda. Penundaan tersebut biasanya ditandai dengan su/ukan, pergantian adegan maupun pergantian pathet. Ketiga unsur tersebut yang terpenting adalah perbuatan yang kemudian disebut dengan fungsi. Fungsi dianggap penting karena fungi­ fungsi itulah yang membentuk sebuah cerita. Fungsi cerita lakon Bratayuda yang telah teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi tujuh lingkungan tindakan. Tujuh lingkungan itu adalah lingkungan tindakan Pahlawan, penjahat, penolong, pendonor, penagih janji, penghubung, dan dewa. Selain tujuh fungsi tersebut terdapat fungsi-fungsi di luar ke tujuh lingkungan tindakan. Fungsi- fungsi itu biasanya berupa perang. Fungsi pelaku dalam cerita lakon Bratayuda rupanya tidak bisa dikelompokkan dalam satu lingkungan tindakan secara utuh. Misalnya tokoh Prabu Salya mempunyai dua lingkungan tindakan yaitu lingkungan tindakan penjahat dan penolong. Hal ini terlihat ketika Adipati sedang membidik Raden Janaka dengan senjata Kuntawijayadanu, tiba-tiba kereta dipacu oleh Prabu Salya. Akibatnya perbuatan Prabu Salya, senjata Kuntawijayadanu tidak tepat mengenai sasaran. Jadi, pelaku pada cerita lakon Bratayuda tergantung fungsi pelaku. Sebagai studi awal tentang morfologi wayang, fungsi cerita lakon wayang Bratayuda versi Jombor masih terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya sangat dibutuhkan sehingga akan ditemukan morfologi cerita lakon wayang kulit purwa yang lebih sempurna. Dilihat dari pergerakan ceritanya lakon Bratayuda versi Jombor mempunyai tipe alur paralel. Artinya cerita lakon Bratayuda mempunyai dua alur yang bergerak bersama-sama kemudian bertemu di perang. Dua pergerakan yang ada dalam cerita lakon Bratayuda adalah alur pihak Pandawa dan pihak Kurawa. Pergerakan cerita lakoan Bratayuda versi Jombor tersebut dalam penyajiannya masih disusun sesuai pola tradisi. Lakon Bratayuda versi Jombor dilihat dari teknik alurnya dibagi menjadi tiga bagian yang disebut Pathet . Ketiga pathet itu adalah Pathet Nem, Pathet Sanga dan Pathet Manyura. Masing-masing pathet tersusun oleh tiga bagian yaitu jejer, adegan dan perang. Bagian pathet tersebut dibagi lagi menjadi tiga bagian yang disebut deskripsi, dialog atau ginem dan tindakan. Pola-pola tersebut bukanlah merupakan aturan yang mutlak dilaksanakan oleh dalang dalam melaksanakan pementasan. Sebagai contoh adegan Sengkuni di Kurusetra; Adegan candhakan Bambang Aswatama Patih Sengkuni dan Pendhita Duma; Perang Prabu Baladewa dengan Raden Werkudara. Adegan dan perang tersebut hanya terdiri dari dua unsur, yaitu ginem dan tindakan. Struktur pementasan lakon tradisi pewayangan Surakarta terdiri dari urut­ urutan yang mapan seperti yang ditulis oleh Nojowirongko (lihat halaman 156- 159). Pedoman ini tidak bersifat kaku, artinya masih terbuka kemungkinan untuk mengadakan perubahan sesuai dengan kebutuhan penceritaan lakon yang akan dipentaskan. Perubahan ini berkaitan dengan panjang pendek lakon yang mempengaruhi susunan pembabakan lakon. Perubahan yang terjadi pada penyajian lakon Bratayuda versi Jombor terlihat dari pengurangan dan penambahan dari urutan yang mapan. Pengurangan adegan terjadi pada adegan Kendel Gapuran, adegan Kedhatonan, Adegan Gara-gara, adegan Pertapan, Gambyongan, Golekan. Penambahan terjadi pada Pathet Manyura yang mempunyai susunan adegan lebih dari tiga adegan. Adapun rangkaian adegan lakon Bratayuda versi Jombor dari Pathet nem dimulai dari pesanggrahan Negara Ngestina; adegan Paseban Jawi; adegan Pungkuran; adegan Babak Unjal Raden Kembar; dan diakhiri dengan adegan Patih Sengkuni di Medan Kurusetra. Pathet sanga dimulai dengan adegan Petamanan; adegan Raden Dursasana di Kurusetra; adegan pihak Pandawa, dan pihak Kurawa datang ke Medan Kurusetra; adegan Dewi Kunthi, dan Dewi Drupadi menemui Raden Werkudara di Medan Kurusetra; adegan pesanggrahan Negara Ngestina. Pathet Manyura yakni adegan pesanggrahan Gupalawilya; adegan Babak Unjal Raden Setyaki; adegan Adipati Kama di Medan Kurusetra ; adegan Prabu Salya di Medan Kurusetra; adegan pesanggrahan negara Ngestina ; adegan Babak Unjal Bambang Aswatama; adegan candhakan Bambang Aswatama, Patih Sengk Pendhita Duma; adegan Prabu Kresna, Raden Werkudara, Raden Janaka di Medan Kurusetra; adegan pesanggrahan Negara Ngestina; adegan Prabu Kresna dan Raden Werkudara di Medan Kurusetra; Adegan candhakan Prabu Kresna menemui Raden Kembar; adegan pesanggrahan Negara Ngestina, adegan Prabu Kresna menemui Prabu Duryudana; adegan Raden Werkudara dan Prabu Kresna; adegan Prabu Baladewadi Medan Kurusetra, adegan Prabu Kresna menemui Prabu Baladewa, adegan Negara Ngestina, adegan tancep kayon. Bentuk perangan yang ada dalam penyajian lakon Bratayuda versi Jombor sebagian besar juga tidak mengikuti susunan perang yang disusun oleh Nojowirongko. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya perang Ampyak, perang Gaga/, perang Kembang, perang Sintren, perang Brubuh. Perbedaan ini terjadi karena lakon Bratayuda versi Jombor menceritakan beberapa peristiwa perang penting dalam perang Baratayuda. Peristiwa perang penting pada cerita lakon Bratayuda adalah perang Pathet Nem, perang Jambakan, Kama Tandhing, Duma gugur, Salya gugur, Duryudana gugur, Sengkuni gugur. Penyempitan dan penambahan adegan pada penyajian cerita lakon Bratayuda versi Jombor sedikit berpengaruh pada pembawaan sulukan. Hal ini terlihat pada pembawaan suluk Pathet Nem Wantah sesudahjejer yang seharusnya memakai suluk Pathet Nem Ageng. Meskipun demikian secara garis besar penyajian sulukan dalam cerita lakon Bratayuda mengacu pada aturan dan fungsi yang ada yaitu sebagai pembangun suasana, pergantian suasana dan pergantian Pathet. Pola-pola dhodhogan-keprakan pada penyajian cerita lakon Bratayuda verst Jombor secara leluasa dipergunakan oleh dalang. Misalnya Dhodhogan Geter yang seharusnya dilakukan dengan menggunakan cempala kayu dapat pula digantikan. fungsinya dengan keprak, sebaliknya permainan keprak Banyu Tumetes banyak dilakukan dengan menggunakan cempala kayu. Iringan gendhing dalam penyajian cerita lakon Bratayuda tidak semuanya mengacu pada gendhing-gendhing tradisi pewayangan Surakarta. Hal ini terutama terlihat pada iringan perang. Semua jenis perang dalam penyajian lakon Bratayuda versi Jombor diiringi bentuk gendhing Srepeg dan Sampak . Adapun bentuk gendhing yang mengiringi penyajian lakon Bratayuda versi Jombor adalah Ketawang Gendhing kethuk 2 kerep, Gendhing kethuk 2 kerep minggah 4, Ladrang, Ayak-ayak, Srepeg, Sampak, Gangsaran.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Creators:
CreatorsNIM
Krystiadi, NIM. 0310063016UNSPECIFIED
Department: UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Additional Information : Agung Nugroho, Kasidi
Uncontrolled Keywords: dalang, wayang, Bra Tayuda, jombor
Subjects: Pedalangan
Divisions: Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Pedalangan
Depositing User: agus tiawan AT
Date Deposited: 20 Sep 2017 08:24
Last Modified: 20 Sep 2017 08:24
URI: http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/2292

Actions (login required)

View Item View Item