Sri Hastuti, - (2013) Sawer : Strategi Topeng Dalam Menggapai Selera Penonton. Cipta Media, Yogyakarta. ISBN 978-602-7897-05-2
|
Text
Pages from buku sawer.pdf Download (1MB) | Preview |
|
Text
buku sawer.pdf Restricted to Repository staff only Download (16MB) | Request a copy |
Abstract
Indramayu sebagai salah satu kabupaten di wilayah Jawa Barat yang merupakan wilayah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, secara sosial-budaya mempunyai ciri-ciri khas yang membedakan dengan wilayah-wilayah Jawa Barat lainnya. Secara historis, wilayah Indramayu dan Cirebon telah mengalami percampuran dengan budaya luar seperti Jawa, Cina, Madura, Arab, India, dan dengan bangsa Barat. Dengan demikian citra Indramayu sebagai sebuah kebudayaan kemudian menyiratkan paduan berbagai budaya. Orang Indramayu lebih suka dikenal sebagai orang Dermayu dengan budayanya yang disebut Dermayon. Karya-karya seni seperti batik, pewayangan, bahasa, tari, dan lain sebagainya selalu diberi cap Dermayon. Bagi orang Indramayu, istilah dermayon mengandung penegasan bahwa ada identitas yang membedakan budaya Indramayu dengan budaya Cirebonan ataupun dengan budaya daerah lain. Namun demikian telah menjadi asumsi yang umum pula bahwa secara makro, budaya Cirebonan meliputi hingga ke daerah-daerah sekitar Cirebon, karena secara geografis memang Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu berada dalam satu wilayah yang berdampingan. Selain fenomena multi etnis yang terekspresikan pada produk budayanya, Indramayu adalah gambaran salah satu wajah budaya pesisiran Jawa Barat. Ekspresi budaya pesisiran yang cenderung lugas, dapat ditengarai dari seni pertunjukannya seperti misalnya pertunjukan sandiwara, wayang, tari topeng, dan sebagainya. Pada berbagai pertunjukan di Indramayu, kehadirannya di tengah penonton senantiasa direaksi dengan sawer atau saweran sebagai komunikasi simbolis antara penonton dan pemain. Sawer telah menjadi bahasa khas yang marak di pesisir utara Jawa Barat seperti Subang, Krawang, Indramayu, Cirebon, dan daerah-daerah lainnya. Pertunjukan dan sawer ibarat sahabat karib, hampir senantiasa hadir bersama. Sawer tanpa pertunjukan, tentu tidak mungkin karena sawer sangat memerlukan bingkai yaitu pertunjukan. Di sisi lain, pertunjukan tanpa sawer dirasakan kurang hangat dan dingin. Bagi para pemain di panggung, sawer menjadi bara yang menghangatkan dan mendorong semangat dalam berpentas. Kemasan sawer atau model sawer pada masing-masing pertunjukan tidak selalu sama. Salah satu pertunjukan rakyat yang senantiasa diwarnai dengan sawer adalah pertunjukan topeng. Pertunjukan ini dapat hadir dalam berbagai bingkai acara, baik ritual maupun sekuler. Acara yang berbingkai ritual misalnya acara ngunjung atau unjungan (upacara di makam leluhur desa) dan kasinoman atau ngarot (upacara bagi para pemuda desa menjelang musim tanam). Adapun pada acara sekuler, pertunjukan topeng hadir pada acara perkawinan, khitanan, rasulan, acara H.U.T Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ulang tahun pemerintahan desa, dan lain sebagainya. Secara struktural pertunjukan pada masing-masing acara itu tidak akan persis sama, karena situasi temporal yang melengkapi pertunjukan itu senantiasa berbeda. Namun demikian garis besar strukturnya tetap sama yaitu pertunjukan disajikan dengan menampilkan tari topeng dengan beberapa karakter. Biasanya urutan pertunjukan terdiri dari Topeng Panji, Topeng Pamindo, Topeng Rumyang, Topeng Tumenggung, Topeng Klana Gandrung dan Klana Udheng. Selain itu, secara koreografis setiap tari telah memiliki kaidah-kaidah dramatika iringan yang dimanifestasikan dalam tahapan irama yang disebut dodoan (irama pelan), unggah tengah/tengahan (irama yang agak cepat), dan deder (irama yang lebih cepat dari unggah tengah). Masing-masing tahapan irama membungkus motif-motif gerak tertentu. Selain kaidah dalam tata gerak dan tata iringan, kaidah lainnya adalah karakterisasi, tata busana, dan cara penyajian. Kendati suatu pertunjukan dalam hal ini pertunjukan topeng telah memiliki tata aturan yang dipahami bersama, namun konteks pertunjukan merupakan faktor yang menyebabkan pertunjukan akan mewujud dipengaruhi lingkungan itu. Hajatan atau suatu pesta, yang menjadi bingkai pertunjukan topeng, membawa nuansa tersendiri bagi pertunjukan itu. Suasana bersenang-senang dan bersilaturahmi, mendorong para hadirin untuk senantiasa menyalurkan rasa bersenang-senang itu. Maka pertunjukan topeng menjadi wahana bagi para hadirin untuk relaksasi itu, yaitu melalui perilaku yang disebut sawer. Namun demikian motivasi seseorang untuk melakukan sawer tidak selalu bermotivasi tunggal. Selain itu mungkin motivasi yang lebih ditonjolkan akan berbeda-beda pada setiap jenis sawer. Macam sawer pada pertunjukan topeng cukup beragam yaitu balangan, geredan/jala’an, jambu alas, koncrangan, pancingan dan narayuda. Masing-masing jenis sawer mempunyai pola tindakan yang khas. Pada balangan atau lemparan kain, sawer mengandung pesan penonton yang mengandung arti simpati. Geredan merupakan tindakan menarik dalang topeng atau panjak, sedangkan jala’an menarik dengan alat kain batik, merupakan tindakan untuk mengakrabkan diri dengan pemain di panggung, sekaligus bersilaturahmi. Suasana rekreatif cukup terasa pada geredan/jala’an. Pada sawer pancingan, para pemain diberi sawer dengan cara menari topeng klana sambil meraih tali pancing atau kail yang telah dipasangi uang sawer. Pelaku pancingan tak terbatas jumlahnya pada waktu yang sama. Sawer inilah yang sangat menonjol suasana rekreatifnya. Persaingan penonton dalam memberikan uang sawer tidak terjadi pada sawer pancingan. Akan tetapi justru pada sawer jambu alas dan juga permintaan lagu-lagu, tampak faktor prestise penonton ditonjolkan melalui penyebutan nama-nama penyawer di dalam tembang yang dilantunkan serta jumlah uang sawer yang ditampakkan. Pada semua jenis sawer, cenderung pihak penonton yang aktif bertindak. Akan tetapi dalang topeng dapat mengambil inisiatif jikalau penonton ternyata kurang menunjukkan minatnya untuk melakukan sawer. Adapun pihak dalang topeng menunjukkan sebagai pihak yang aktif dan menjadi pengendali keadaan melalui narayuda yang dilakukan di akhir pertunjukan, sebagai permohonan sumbangan suka rela dari penonton. Tari Topeng Klana dapat ditunda pertunjukannya, sebelum penonton menyerahkan uang sawer. Seluruh aktivitas sawer dilakukan di dalam alur pertunjukan yang sedang berlangsung. Dialektika antara pertunjukan dan sawer merupakan suatu tuntutan yang takterhindarkan dan merupakan suatu hal yang mesti terjadi. Pertunjukan topeng di satu sisi dan sawer disisi lain, dikaji dari teori Hegel, merupakan suatu tesis yang berdialog dengan antitesis. Melalui suatu persinggungan dua kepentingan masing-masing berusaha saling menerima dan menyelaraskan. Pemain yaitu dalang topeng dan panjak berusaha memahami dan mengikuti selera penontonnya. Penonton meskipun menuntut ruang untuk partisipasi mereka, namun ternyata mempunyai pemahaman yang cukup tentang pertunjukan topeng, sehingga kedua pihak sesungguhnya saling menerima dan memberi. Namun sungguhpun demikian, bingkai pertunjukan topeng adalah suatu hajatan atau suatu pesta. Oleh sebab itu pertunjukan cenderung berfungsi sebagai hiburan, menyemarakkan suasana. Dengan demikian pemuasan selera penonton tentu diperhi-tungkan oleh dalang topeng. Kehadiran sawer telah memposisikan pertunjukan topeng tidak hanya sebagai seni tontonan (performing arts), tetapi juga sebagai seni yang diperansertai (art of participation). Hal itu tampak terutama ketika lagu-lagu permintaan penonton dilantunkan dan kemudian penonton dapat menikmatinya sambil berjoged di atas panggung. Selain itu penonton dapat berkali-kali naik panggung untuk menarik dalang topeng keluar panggung, sementara iringan tetap bertalu-talu dengan irama deder (cepat). Kondisi yang mewujud pada setiap pertunjukan akan sangat dipengaruhi oleh: (1) Selera penonton menyangkut berbagai hal; dan (2) Apresiasi penonton tentang pertunjukan topeng. Penonton yang akrab dengan pertunjukan biasanya mempunyai reaksi yang baik terhadap pertunjukan. Salah satu perwujudan reaksi itu adalah tindakan sawer. Posisi sawer dalam pertunjukan menjadi penting, karena memuat makna tertentu bagi setiap individu penyawer. Sawerbagi penonton adalah kanal yang mengalirkan segala rasa yang ingin diekspresikan setiap penonton, sedangkan bagi dalang topeng dan panjak merupakan sarana mendapatkan rejeki tambahan dan sarana menghadirkan kebanggaan diri sebagai seniman yang diakui keberadaannya. Dengan demikian pertunjukan senantiasa dibuat lentur, karena hadirnya kepentingan bersama.
Item Type: | Book | ||||
---|---|---|---|---|---|
Creators: |
|
||||
Uncontrolled Keywords: | seni tari, sawer | ||||
Subjects: | Tari > Pengkajian Tari Karya Dosen |
||||
Divisions: | Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Tari > Seni Tari (Pengkajian) | ||||
Depositing User: | agus tiawan AT | ||||
Date Deposited: | 08 Nov 2017 06:26 | ||||
Last Modified: | 08 Nov 2017 06:26 | ||||
URI: | http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/2656 |
Actions (login required)
View Item |