Rina Martiara, -
(2012)
Nilai Dan Norma Budaya Lampung: Dalam Sudut Pandang Strukturalisme.
Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.
ISBN 978-000-0000-00-0
Abstract
Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan menganalisis
cangget
terbuka tirai budaya masyarakat Lampung sebagai pendukungnya.
Melalui cangget sebagai wujud seni atau performance
dapat terbaca nalar kemanusiaan (humand mind) masyarakatnya.
Bagi orang Lampung cangget adalah upacara perkawinan (begawi
cakak pepadun), dan ciri dari upacara perkawinan orang Lampung
adalah cangget. Hubungan erat di antara keduanya menghadirkan
oposisi dan relasi yang dipakai guna membuka nilai budaya dan
identitas kultural masyarakat Lampung.
Cangget adalah tarian yang dilakukan oleh seluruh putri penyimbang
(pemimpin adat) di dalam sesat (balai pertemuan
adat), sebagai wakil dari kepenyimbangan ayahnya. Pada upacara
perkawinan cangget selalu dihadirkan bersama igol (ada yang menyebut
igel, atau tigel). Igol adalah tari yang dilakukan oleh lakilaki
sebagai ekspresi kejantanan yang diungkapkan dengan gerakgerak
pencak, dan gerakan mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil
berputar-putar. Pada masa lalu igol dikenal juga dengan nama tari
perang. Dalam Recako Wawai Ningek –yakni cerita turun temurun
yang dilantunkan melalui syair--, igol dilakukan setiap kali para
penyimbang selesai bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan atau memutuskan suatu bentuk persetujuan adat—baik tertulis
maupun tidak—guna dijadikan pegangan dalam melaksanakan adat.
Sebagai ungkapan kegembiraan tersebut mereka menari bersama
(mecak wirang). Gerak-gerak mecak atau pencak ini dianggap
merupakan dasar gerak igol. Igol dianggap juga sebagai sisa adat
mengayau kepala manusia sebagai prasyarat melaksanakan upacara
cakak pepadun, yang biasanya dilaksanakan bersamaan dengan
upacara perkawinan adat. Pada upacara cakak pepadun, laki-laki tua
dan muda menari-nari dengan gerakan tangkas berputar-putar sambil
menendangi labu air bulat bergambar kepala manusia. Upacara ini
disebut juga dengan sepak uluw (sepak kepala). Sisa adat mengayau
kepala manusia pada masyarakat Lampung masih dapat ditelusur
dengan bukti ditemukannya kuburan korban irau (disebut irawan) di
daerah Menggala. Pengayauan juga merupakan penguji kejantanan
seorang pemuda untuk menikahi gadis tertentu dalam perkawinan
jujur. Biasanya korban irau adalah orang yang dianggap sebagai
musuh kampung tersebut. Bila seorang pemuda berhasil membunuh
orang yang dianggap sebagai perusuh kampung, maka penduduk
akan berkumpul dan menari-nari bersama.
Oposisi binair di dalam upacara perkawinan ini terdapat pada nilai
budaya dan struktur sosial. Oposisi binair pada nilai budaya adalah
cangget dan mupadun; laki-laki dan perempuan; pi-il pasenggiri dan
liyom. Mupadun dan pi-il pasenggiri adalah rasa harga diri, dunia
laki-laki, yang harus diperjuangkan oleh setiap laki-laki Lampung.
Cangget dan liyom adalah rasa malu, dunia perempuan, yang harus
dijaga dan dipertahankan oleh semua orang Lampung. Pada struktur
sosial oposisi binairnya adalah pihak laki-laki dan pihak perempuan;
pihak penerima anak dara dan pemberi anak dara; pihak tuan tumah
dan tamu.
Dari pasangan oposisi binair ini kemudian menghadirkan model
lain, yakni segitiga tegak yang merupakan hasil dari ’mengawinkan’
pasangan oposisi tersebut yang oleh masyarakat Lampung tercermin
dalam falsafah ’seruas tiga buku, tiga genap dua ganjil’. Pada pemahaman
orang Lampung model segitiga tegak ini disebut
sebagai segitiga tungku batu, yang melambangkan ’kekuatan’ dan
’sumber penghidupan’. Sebagai ’sumber kehidupan’ sebuah tungku
merupakan tempat untuk menanak. Pada masa lalu umumnya tungku
dibuat dalam formasi tiga buah batu agar belanga yang diletakkan di
atasnya tidak terguling. Tungku tiga batu, --sebagai lambang tempat
memasak ’sumber kehidupan’—dibuat dalam formasi tiga agar
’kuat’. Kekuatan tiga batu menopang kedudukan orang Lampung
yang ditegakkan di atas tiga adat, yakni adat cepala-adat pengakukadat
kebumian; dan kesempurnaan orang Lampung ditegakkan atas
tiga hal, yakni benuwa-begawi-cakak mekah. Tungku tiga batu
diasumsikan juga sebagai ’perkawinan’ dikarenakan menjadi tempat
bertemunya dua hal yang berbeda yang disatukan di dalam belanga
sebagaimana pribahasa mengatakan, ”asam di gunung, garam di
laut, akhirnya bertemu dalam belanga” melambangkan bertemunya
dua unsur yang disatukan dalam perkawinan. Perkawinan adalah
adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi
saling melengkapi. Harmoni tidak melenyapkan dua entitas, tetapi
mengawinkannya, yang akan melahirkan entitas baru. Tidak ada yang
dikalahkan, tidak adanya yang dimenangkan. Keduanya pemenang,
bahkan melahirkan hidup baru.
Falsafah seruas tiga buku, tiga genap dua ganjil ini mengandung
makna bahwa genap bukan pada bilangan dua, melainkan justru pada
bilangan tiga, diibaratkan bagai sebuah jari tangan yang terdiri dari tiga
buku jari, maka baru pada jumlah tiga buku lah ruas jari tangan dapat
berfungsi untuk memegang benda. Pemahaman ’ganjil’ bukan pada
makna deret bilangan, melainkan ’ganjil’ dalam arti ’aneh’ karena
tidak sesuai dengan hal-hal yang menjadi ketentuan umum. Adat
cepala berisikan kehormatan pribadi yang tercermin di dalam perilaku
keseharian seseorang, adat pengakuk adalah kehormatan keluarga
yang ditentukan karena perkawinan, dan adat kebumian adalah kehormatan
seluruh kepenyimbangan berdasarkan kekerabatan atau
garis keturunan. Artinya nilai kehormatan seseorang di masyarakat sangat ditentukan oleh perilakunya (adat cepala); keluarga dan
pertalian perkawinan (pengakuk) –dikarenakan nilai kehormatan
seseorang
juga ditentukan oleh siapa wanita yang dinikahinya--;
dan kaum kerabatnya (adat kebumian). Kesempurnaan hidup yang
ingin dicapai oleh orang Lampung adalah benuwa (memiliki rumah);
begawi (mengawinkan anak) dan cakak mekkah (naik haji
ke Mekah). Dari falsafah ini terlihat bahwa cangget menjadi wujud
ungkap nilai-nilai utama dan kesempurnaan hidup orang Lampung.
Perkawinan adalah pusat dari siklus hidup orang Lampung. Hanya
mereka yang telah menikah yang diizinkan untuk benuwa, dan orang
yang telah benuwa (berharta) namun belum melaksanakan begawi
dianggap belum mencapai kesempurnaan hidup, dikarenakan ia
masih dianggap ’kurang sempurna’ bila masih memiliki anak yang
belum menikah. Pada falsafah ini, ’tiga’ hal yang membuat seorang
Lampung menjadi ’genap’ sebagai manusia ’sempurna’.
Cangget sebagai wujud dari simbolisasi yang dilakukan oleh
masyarakat Lampung tidak terlepas dari upaya orang Lampung
untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka
hadapi, yang tertuang dalam perilaku ritual yang mengiringinya
yaitu upacara perkawinan. Melalui aktivitas begawi adat inilah
orang Lampung menemukan identitas budaya mereka; menemukan
keLampungan
mereka, sekaligus melestarikan dan meneguhkan
budaya serta identitas Lampung itu sendiri.
Kebudayaan biasanya dipahami sebagai sistem nilai-nilai dan
norma-norma yang mengatur tingkah laku sekelompok orang. Hal
yang jarang dikatakan adalah bahwa kebudayaan juga merupakan
seperangkat kepercayaan bersama yang dianut sekelompok orang
dan mengikat mereka dalam kebersamaan sebagai kelompok. Kepercayaan
ini menyangkut misalnya kesamaan asal-usul, kesamaan
sejarah, kesamaan tokoh-tokoh yang dihormati, upacara-upacara
yang dianggap penting, atau hari-hari yang dianggap baik dan buruk
dalam melakukan hal-hal penting. Bagi orang Lampung, di mana asalusul
dasar genealogis sebagai sebuah kelompok lebih dipentingkan baru kemudian faktor teritorial, menyebakan cangget menjadi
sebuah ’tempat’ di mana sebuah identitas didapat, ’tempat’ sebuah
’nama’ dan ’keluarga’ memiliki arti, ’tempat’ di mana aktualisasi diri
sebagai pribadi diperhitungkan.
Peristiwa Cangget membuat orang Lampung kembali ke wilayah
sosial dan budayanya, sebuah proses yang membuat orang
Lampung merasa dirinya sebagai orang Lampung—kembali menjadi
bagian dari kelompok itu. Bagi orang Lampung, cangget adalah
jati diri, sebuah identitas yang melekat di diri. Cangget dan
perkawinan adalah ’rumah’ tempat untuk kembali dan menemukan
”kejati-dirian”, sebuah ’tempat’ di mana sebuah identitas didapat
kembali, sebuah nama diperhitungkan. Cangget adalah sebuah kampung,
sebuah halaman, tempat di mana sebuah sejarah bermula,
awal sebuah perjalanan, tempat di mana asal asul diperhitungkan
dan sejarah keluarga dihubungkan. Sebuah tempat untuk kembali,
sebuah nama untuk kembali dikenang.
6.2. Implikasi Teoretis
Hasil penelitian ini membuka pemahaman-pemahaman baru
pada khasanah pengetahuan kita tentang ’dunia seni pertunjukan’.
Dalam pranata modernisme seni seringkali dipandang tanpa melihat
konteks lokal yang sebenarnya menjadi variable utama dalam proses
pengembangannya. Karya seni merupakan bagian dari ’perasaan
dunia’ yang berbeda dengan ’pandangan dunia’. Oleh karenanya
membaca seni harus didasarkan pada konteks lokal yang oleh
Geertz disebut sebagai native’s point of view. Bagi Geertz, simbol,
makna, konsepsi, bentuk, teks adalah kebudayaan. Kebudayaan
bukanlah sesuatu yang terpaku di dalam isi kepala manusia, tetapi
lebih merupakan sesuatu yang menyatu di dalam simbol-simbol
di tingkat masyarakat, yaitu simbol-simbol yang digunakan oleh
masyarakatnya untuk mengkomunikasikan pandangan, orientasi
nilai, etos, dan beberapa hal yang terjadi di antara mereka. Dalam
hal ini pemaknaan interpretative dari Geertz mencoba menjawab pertanyaan bagaimana kita harus membangun suatu kisah tentang
suatu susunan imajinatif sebuah masyarakat berdasarkan common
sense (nalar awam), dan bagaimana simbol membentuk cara si pelaku
kebudayaan itu melihat, merasa, dan memikirkan dunia sosialnya.
Tari merupakan wujud penting dalam membaca ’pandangan
dunia’ dan ’perasaan dunia’ dari aspek pandangan hidup dan pola pikir
kosmik masyarakat pendukungnya. Cangget sebagai performance
atau wujud ungkap estetis menghadirkan relasi-relasi simbolik
masyarakat Lampung. Suatu kesadaran atas konteks budaya secara
total yang di dalamnya satu karya seni diproduksi akan membantu
dalam memahami ’perasaan dunia’ yang ia sampaikan. Guna memahami
’pandangan dunia’ dan ’perasaan dunia’ yang terdapat di dalam
relasi-relasi hubungan antara cangget dan masyarakat Lampung
tersebut dipakai teori interpretatif Geertz. Geertz menemukan cara
bagaimana mengkaji sebuah fenomena sosial tindakan kolektif yang
penuh oleh makna-makna simbolik dengan metode pemahaman
yang didasarkan pada local knowledge masyarakatnya.
Dalam hal ini penelitian ini mengumpulkan data-data etnografis
dari sudut pandang masyarakat Lampung dipakai guna mengupas
makna yang ada di balik struktur cangget. Dari data etnografis tersebut
dapat diinterpretasikan fungsi cangget sebagai pola yang berisikan
nilai-nilai ideal orang Lampung dan struktur sosial kepenyimbangan.
Metode etnografi dipakai dalam menganalisis cangget dan seluruh
fenomena yang mengiringinya guna mengupas pola budaya masyarakat
Lampung. Walaupun seni adalah ’tatanan mental’, berada dalam
wilayah spiritualitas, sesuatu yang berhubungan dengan wilayah
transenden, namun secara wujud, seni dapat dilihat dari artefak
kebudayaan yang merupakan wujud atau performance yang teralami
secara indrawi yang ketika diaktualisasikan kembali sangat sarat
dengan human interpretative.
Untuk menghindari interpretatif yang terlalu subjektif –dengan
satu asumsi bahwa ada kecenderungan manusia dapat (seolah-olah)
tanpa batas untuk ’melihat’ struktur di balik berbagai macam gejala sehingga seringkali terjadi kesemena-menaan interpretasi, maka
dipakai kajian struktural Levi-Strauss. Analisis struktural Levi-
Strauss dipakai untuk mengupas humand mind (nalar kemanusiaan)
Lampung
yang diasumsikan merupakan bagian dari ’pandangan
dunia’ masyarakat Lampung. Di dalam fenomena cangget terdapat
logika-rasional yang dapat ditangkap di dalam struktur cangget
berkait dengan ketertaan (order) dan keterulangan (regularities) yang
merupakan hukum-hukum matematika yang merupakan struktur yang
ada di alam nirsadar orang-orang Lampung. Dengan metode analisis
struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena
cangget dianggap akan dapat menjadi lebih utuh. Analisisnya tidak
saja pada upaya mengungkapkan makna-makna referensialnya saja,
tetapi juga membuka logika yang ada di balik ’hukum-hukum’
yang mengatur proses perwujudan berbagai fenomena semiotik dan
simbolis yang bersifat tidak disadari oleh orang Lampung.
Beberapa perubahan penting dalam antropologi budaya adalah
pertama, epistemologi strukturalisme, yang membuat antropologi
lebih dekat ke bidang humaniora, yang menyempal dari
epistemologi
positivisme. Dengan strukturalisme, dibangun disiplin
yang lebih ilmiah dan obyektif dengan tidak kehilangan sentuhan
kemanusiaannya. Epistemologi baru ini dibangun dengan
menggabungkan asumsi-asumsi filosofis yang berasal dari semiotik,
dan model-model serta berbagai konsep dari linguistik. Inilah perbedaan
mendasar antropologi struktural Levi-Strauss dengan strukturalisme-
fungsional Radcliffe-Brown yang banyak mengambil
model dari Biologi (dikembangkan oleh antropolog Belanda).
Seni pertunjukan pada masyarakat Lampung tidak terlepas
dengan peristiwa adat yang mengiringinya, bahkan dapat dikatakan
sebagai peristiwa adat itu sendiri (begawi). Bersamaan dengan
perkawinan maka beralihlah kedudukan kedua pengantin dengan
cakak pepadun (mupadun), yakni naik tahta adat. Paradigma fungsionalis
dipakai guna mengupas hubungan fungsional yang terdapat
di dalamnya. Namun untuk mengupas humand mind yang terdapat dalam cangget dipakai teori struktural Levi-Strauss. Alasan memakai
analisis struktural Levi-Strauss dalam kajian ini adalah untuk
menunjukkan bagaimana relasi struktural dalam cangget dan sistem
kekerabatan Lampung. Dengan membangun model-model yang
memperlihatkan adanya struktur-struktur tertentu dalam cangget dan
perkawinan, penelitian ini berusaha mengungkapkan relasi-relasi
apa saja kiranya yang ada di dalam struktur pertunjukan dan struktur
kekerabatan yang telah memungkinkan orang Lampung membangun
jaring-jaring simbolis, hingga akhirnya dapat membuka nilai budaya
dan identitas kultural orang Lampung.
Akhirnya selalu ada pilihan. Ingin melihat sebuah pohon seni
secara mendetail atau melihat penyebaran pohon-pohon seni, agar
pemaham multikultural di dalam budaya Indonesia yang bhinneka
ini dapat diwujudkan. Penelitian ini adalah mengupas cangget secara
mendalam guna menemukan ciri ’seni’ tersebut untuk dipakai
guna menemukan pola-pola persamaan dan perbedaan kebudayaan
Nusantara yang bhinneka. Dalam hal ini penelitian ini memilih
mengenal ciri budaya masyarakat Lampung melalui cangget untuk
mengetahui bagaimana pola yang terdapat di dalam budaya Lampung
yang memungkinkan ditemukan pula dalam budaya-budaya lain di
Indonesia. Hal ini akhirnya diharapkan dapat membuka pemahaman
akan keberbedaan budaya yang menghasilkan kearifan pandangan
dalam menilai budaya lain. Pemahaman ini akan membuka pengertian
untuk tidak selalu meminta untuk ’dipahami’ dari sudut pandang
budaya kita sendiri, namun menafikan nilai-nilai budaya lain. Hal
yang lebih menyedihkan adalah selama ini kita selalu menilai
budaya lain dengan sudut pandang budaya kita.. Perspektif Levi-
Strauss memungkinkan para ahli antropologi dapat melihat pola
hutan ’budaya’ di Indonesia yang beragam ini.
Actions (login required)
|
View Item |