Filsafat Keindahan Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Pemahaman konsep suluk sebagai jalan ke arah keluhuran budi dan moralitas bangsa

Kasidi Hadiprayitno, NIP. (2009) Filsafat Keindahan Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Pemahaman konsep suluk sebagai jalan ke arah keluhuran budi dan moralitas bangsa. Bagaskara, Yogyakarta. ISBN 978-979-25-5945-3

[img] Text
up oke buku filsafat keindahan suluk wayang kulit purwa gaya yogyakarta.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (911kB) | Request a copy
[img]
Preview
Text
Pages from oke buku filsafat keindahan suluk wayang kulit purwa gaya yogyakarta.pdf

Download (4MB) | Preview
Official URL: http://lib.isi.acid

Abstract

Berdasarkan data yang dapat dikumpulkan, diketahui bahwa dalang-dalang gaya Yogyakarta memiliki kesamaan bentuk dalam penyajian sulukan wayang terutama yang berkaitan dengan suluk-suluk pokok, misalnya sulukan-sulukan bentuk lagon wetah. Di samping itu dari hasil pengelompokan dalang, diperoleh kesimpulan bahwa dalang senior dan terkenal banyak menjadi kiblat dalang-dalang di wilayahnya. Transformasi pewayangannya diperoleh secara tradisional yaitu secara lisan dan dengan model nyantrik. Akibatnya sulukan pewayangan gaya Yogyakarta ditandai pula dengan munculnya variasi penyajian sulukan wayang oleh dalang. Di samping itu, pengaruh kemajuan teknologi moderen berpengaruh pula pada cara pembelajaran dalang muda yaitu melalui pita kaset rekaman, sehingga dalang dari wilayah tertentu gaya pewayangannya meniru dalang dari gaya daerah lain. Selanjutnya berdasarkan analisis bentuk, isi, dan formula sulukan dapat disimpulkan beberapa hal pokok yaitu sebagai berikut. 1. Sulukan wayang dibawakan oleh dalang didasarkan pada pola pembagian pathet sebagaimana pembabakan lakon wayang. 2. Sulukan dinyanyikan dalang berfungsi sebagai tanda perpindahan pathet, pemberi tanda kepada pengrawit untuk memainkan gending iringan tertentu, sulukan juga berfungsi sebagai tanda penekanan terhadap adegan yang dibangun oleh dalang dalam pakelirannya. 3. Dari analisis bentuk dan formula sulukan diketahui bahwa sulukan wayang berpijak pada komposisi syair tembang, komposisi, penciptaan komposisi sulukan wayang, dan variasi sulukan wayang. Berdasarkan analisis data, diketemukan penggunaan sulukan wayang ada yang tidak sesuai dengan yang diceritakan dalam satu adegan yang ada. Baik sulukan wayang yang melukiskan karakter atau pun suasana adegan yang tengah berlangsung, sebagai contoh, lakon yang disajikan adalah Dewa Ruci, bagi penonton wayang, lakon ini demikian sangat dikenal dan disukai, namun yang terjadi dalam penyajian sulukan wayang tidak satu pun ditemukan sulukan wayang khusus yang mendeskripsikan karakter Bima maupun kisah perjalanan dan suasana yang mengacu pada lakon yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor pengalaman, kuantitas pementasan, serta kualitas dalang yang bersangkutan. Dalang-dalang yang terhitung angkatan tua pun masih melakukan hal yang sama, yaitu kurang memperhatikan kesesuaian antara adegan dengan sulukan yang dibawakan. Misalnya yang tengah dikisahkan di tengah kelir tokoh Arjuna, maka setidaknya sulukan wayang yang dibawakan berisi karakter Arjuna atau yang berkaitan dengan kisah lakon tentang Arjuna. Kualitas estetik sulukan wayang dipengaruhi beberapa hal antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, dalang memiliki sanggitnya sendiri-sendiri sesuai lokalitas dimana dalang itu bertempat tinggal berdasarkan kedewasaan berkarya dan berolah seni khususnya seni pedalangan. Identik dengan pandangan itu berlaku juga dalam jagad kesasteraan, sang penyair secara arbriter bebas untuk memanfaatkan seluas-luas pilihan kata yang paling tepat menurut pandangan dan horisonnya. Kedua, kekuatantradisi lisan yang masih kuat di kalangan masyarakat dalang, berakibat pada kualitas sulukan wayang, dengan sendirinya keterbatasan persebaran sulukan wayang hanya didasarkan pada pendengaran saja, dan daya ingatan belaka, akibatnya sering terjadi kesalahan ucapan, penggalan kata, bentuk syair, dan sebagainya, sehingga penggunaan sulukan wayang tidak efektif dan selektif sesuai dengan adegan serta pesan makna yang terkandung di dalam sulukan wayang. Ketiga, kurangnya penguasaan materi sulukan wayang juga menjadi faktor penting ketidaksesuaian penggunaannya dalam pementasan. Keempat, sebagaimana disinggung di depan, bahwa pengaruh pasar dalam jagad pedalangan akan mempengaruhi perilaku masyarakat pedalangan, tuntutan agar segera laris tanggapannya, kemudian salah satu terobosannya adalah keberanian menggubah dan berani beda dengan konvensi seni pedalangan yang telah lama ada sebelumnya. Walaupun harus mengesampingkan pesan-pesan etika dan moral yang tersirat dan terkandung di dalam syair sulukan wayang. Sulukan wayang yang panjang atau utuh dianggap mengurangi porsi yang diunggulkan oleh dalang, sehingga kadang kala terjadi, sulukan wayang yang seharusnya dilakukannya sendiri, digantikan peranannya oleh pendukung yang lain, misalnya dibawakan oleh pesinden atau oleh penggerong. Lambat laun hal itu menjadi trend dalam jagad pedalangan seakan-akan justru menjadi kebakuan. Demikian juga sajian pementasan secara menyeluruh saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang luar biasa, kontrol sosial atas perilaku ini menjadi tidak berjalan, yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dalang sendiri. Di balik paparan sulukan wayang di atas, dapat dipastkian bahwa sulukan wayang itu memiliki makna simbolis tertentu sesuai dengan keberadaan serta keberadaan dalam pergelaran wayang. Yaitu adanya unsur narasi yang artinya juga mengacu pada kisah, cerita, kaitanya dengan tokoh, situasi, dan sebagainya. Pada setiap narasi sulukan wayang memiliki 2 unsur penting yang dapat dikenali yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dari segi intrisik, setiap cerita lakon memiliki otonominya masing-masing yang terdiri atas beberapa aspek penting, biasanya adalah peristiwa, tokoh, latar dan alur. Pada dasarnya cerita lakon adalah peristiwa yang melibatkan tokoh sebagai pusat kisahan, sehingga peristiwa dan tokoh itu menjadi bagian utama aspek fisik suatu cerita lakon. Relasi antarunsur itulah yang kemudian membentuk struktur dan kesatuan cerita lakon wayang, dengan demikian di balik sulukan wayang itu pun terkandung narasi yang sifatnya khusus, artinya bahwa kehadirannya menjadi sangat penting dalam dunianya sendiri berikut makna simboliknya. Setelah mengamati pola struktur lakon wayang, maka dengan cara yang hampir sama posisi sulukan wayang terletak di antara dialog dan perubahan suasana yang dikehendaki oleh dalang. Dalam jejeran setelah gending suwuk atau berhenti, kemudian sulukan mengawali adegan itu sebelum dialog berlangsung. Demikian seterusnya secara berselang-seling dan disesuaikan dengan adegan yang berlangsung di atas kelir. Estetika atau filsafat keindahan adalah salah satu cabang filsafat, sesuai dengan keberadaannya, maka dalam analisis bersentuhan dengan keindahan rasa, kaidah maupun hakekat keindahan. Dalam melakukan analisis dan pengujian melibatkan perasaan dan pikiran manusia, pengaruh-pengaruh lingkungan, tradisi berikut penilaian dan apresiasi keindahan sebagai suatu kategori yang berada di luar logika dan etika. Sesuatu dikatakan indah secara alamiah kalau hal itu membiarkan gagasan yang ada di dalam dirinya tampil secara cemerlang. Kemudian dikatakan indah secara artistik, manakala hasilnya merupakan bentuk seni serta membiarkan ide-ide tampilbebas dengan kedalaman dan kekuatan yang baru, serta merefleksikan rahasia-rahasia terdalam dari realitas kehidupan. Oleh sebab itulah estetika tidak dapat dilepaskan dari teori-teori tentang seni. Seni sesunguhnya merupakan bahasa komunikasi yaitu bahasa perasaan sebagai penuangan estetik sehinga hasilnya adalah sesuatu karya seni yang indah. Sesuatu yang indah mengandung tiga unsur penting yaitu (1) kesatuan yaitu berdasarkan kaidah-kaidah dan bentuk yang terstruktur; (2) kerumitan yaitu keragaman bentuk sebagai daya tarik karya seni tertentu; (3) kerumitan yang dimaksudkan adalah proses terjadinya karya seni serta hal yang berkaitan dengan kualitas dan kekhususan, sehingga karya tersebut mampu menjadi pembeda dengan karya seni yang lainnya. Masalah keindahan telah banyak dibicarakan oleh para filsuf antara lain Plato, Aristoteles, Plotinus, Thomas Aquinas, dan para filsuf abad ke-18 lainnya. Sebagian besar dari pandangan para filsuf itu adalah sama yaitu bahwa kehadiran keindahan itu penting sekali bagi manusia. Karya seni dan estetika dapat dipandang sebagai suatu teks yang memiliki ruang yang multidimensional, sebagai wahana ekspresi diri yang dituangkan ke dalam karya seni yang bersangkutan. Dalam rangka pemahaman terhadap seni terjadi komunikasi yang bebas antara penikmat, karya, dan seniman. Oleh sebab itulah pemahaman terhadap uunsur-unsur seni sangatlah penting artinya untuk dapat melakukan analisis lebih mendalam, seperti halnya dalam seni wayang yang ternyata mencakup berbagai unsur seni, sehingga wayang disebut sebagai salah satu seni pertunjukan yang laing lengkap. Sulukan wayang kulit Jawa sebagai salah satu unsur pergelaran wayang secara menyeluruh tidak dapat dipisahkan dengan estetika tradisional, yang beranggapanbahwa sebagai karya seni merupakan model ekspresif untuk terjadinya komunikasi rasa estetik antara karya seni, seniman, dan penikmatnya atau penontonnya. Dalam pandangan estetika tradisional karya seni yang dihasilkan oleh penciptanya biasanya pujangga, empu dalang, pakar wayang, dan sebagainya, adalah sebagai sarana persembahan dan peribadatan. Oleh sebab itu dalam wayang banyak mengangkat lakon-lakon lebet yang mengungkap filosofi Jawa. Filsafat Jawa bertolak dari pemikiran cinta pada kesempurnaan, sehinga filsafat Jawa merupakan sarana bagi manusia Jawa untuk mencapai kesempurnaan hidup. Esensi dari filsafat Jawa bahwa manusia itu harus mampu menjaga dan menjalin keharmonisan antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam semesta lingkungannya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu pemikiran filsafat Jawa yang menunjukkan manusia atas sikap, perilaku dan tindakan dalam kehidupan, adalah filsafat joged Mataram yang dikenal dengan sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sulukan wayang kulit Jawa dalam rangka penjelasan masalah sikap, perilaku, dan tindakan dalam budaya wayang terutama pelaku atau dalang, konsep pemikiran Jawa ini lebih dapat menunjukkan relasi estetik dan harmoni dalam kehidupan budaya Jawa. Pada tarap yang lebih tinggi manusia akan mampu masuk dalam kancah penguasaan ngelmu sangkan paraning dumadi, sehingga menghantarkan manusia menyatu dengan Tuhan yang disebut Manunggaling kawula lan Gusti menyatunya manusia dengan Tuhan. Pengalaman seni sebenarnya adalah sekumpulan pengalaman hidup manusia yang diendapkan di bawah sadarnya, sewaktu-watu dimunculkan kembali dan dituangkan guna melihat persoalan-persoalan kehidupan. Dalam jagad wayang pengalaman seni diartikan sebagai kemampuan mencerap berbagai wacana, diskursus, paradigma, dan sebagainya tentang berbagai nuansa estetik seni pedalangan atau pewayangan. Ada berbagai variasi seni pedalangan ditinjau dari pergelarannya, sehingga muncul bermacam-macam unsur estetik dan gaya pedalangan yang tersebar paling tidak di Pulau Jawa. Antara lain gaya kolektif yang diikuti oleh gaya kraton dan gaya kerakyatan di luar kraton. Kemudian muncul gaya pribadi atau individual, serta gaya yang terakhir adalah gaya penyimpangan. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini pergulatan gaya pewayangan itu masih berlangsung, antargaya yang ada kenyataannya sulit diketahui batas-batasnya secara jelas, sebab seorang dalang dapat saja mempunyai ciri-ciri dari sekian gaya, dan konsep-konsep estetik yang berkembang di jagad pedalangan di Indonesia. Dalam rangka estetika wayang ditemukan adanya konsep estetik tontonan, tatanan, dan tuntunan. Tontonan lebih menekankan pada unsur hiburan. Tatanan artinya bahwa dalam seni pewayangan banyak menampilkan dimensi etik yang luar biasa padatnya, yang dikenal sebagai budaya Jawa. Misalnya adalah konsep-konsep unggah-ungguh, empan papan, dan angon tinon. Adapun konsep tuntunan adalah penyampaian nilai-nilai moral dan ajaran moral Jawa melalui sulukan wayang, tokohtokon wayang, dan lakon-lakon wayang. Pilihan-pilihan persoalan hidup yang tertuang dalam wayang itu disampaikan sedemikian rupa sehingga hayatan serta kedalaman pikir penontonnya mampu menyerap dengan baik, harapanannya agar semua hasil hayatan dan pemkiran itu dapat menjadi pedoman dan acuan hidup dalam bermasyarakat yang lebih berkualitas serta berbudi luhur. Dari uraian di atas tampak bahwa dimensi etis dalam wayang itu tidak dapat dikatakan bersifat hitam putih, namun bersifat pluralitas moral yang ditunjukkan oleh tipologis tokoh-tokohnya, walaupun hanya ditunjukkan lewat karakter sulukanwayang. Konteks lakon serta tokoh yang ditampilkan di atas kelir menunjukkan kompleksitas situasi dan kondisi yang harus dicapai secara maksimal oleh dalang. Lambang tokoh baik dan jahat yang digambarkan misalnya Pandawa dan Korawa, merupakan dualisme komplementer yang saling melengkapi dan berkesinambungan. Tanpa kehadiran tokoh jahat maka tokoh baik pun tidak akan tampak aspek kebaikannya demikian sebaliknya. Dalam wayang pada dasarnya kebaikan dan keburukan akan sangat bergantung kepada konteks dan situasi, itulah dimensi etis dan estetis, sebab berbagai kandungan ajaran nilai moral dalam wayang dituangkan lewat konsep-konsep keindahan yang melahirkan kualitas karya seni yang bersangkutan. Dari contoh sulukan tersebut jelaslah, bahwa tokoh wayang itu manusiawi artinya memiliki sisi baik dan jahat, walaupun kadang kala tindakan yang jahat itu harus dilakukan demi mencapai tujuan yang labih menjamin harmoni kehidupan bermasyarakat. Inilah yang kemudian pembenaran itu sering menyakitkan karena bertolak belakang dengan fakta yang sesungguhnya Banyak usaha untuk menuju kesempurnaan itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kenyataan ini dialami pula oleh para ahli mistik berbagai bangsa sepanjang masa, sehingga dipergunakanlah bahasa kias atau simbolis. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah berbagai konsep pemikiran filosofis itu telah diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk seni, salah satunya adalah seni wayang kulit. Berbagai kisah dan lakon yang dipentaskan dalang banyak berupa kias perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup lahir dan batin. Pemahaman terhadap kias ini tidak dilakukan dengan akal dan pikiran saja, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa, bergantung kepada kedewasaan masing-masing. Ajaran sangkan paraning dumadi dalam kehidupan orang Jawa tidak saja berada dalam ranah kawruh, tetapi lebih jauh ajaran ngelmu yang berkaitan dengan gerakrohani guna menyatu di dalam arus kehidupan secara bersungguh-sungguh hidup sebagai hayatan hidup sejati berdasarkan wirasa sebagai rasa yang lebih dalam. Sesuai dengan konsep dan karakter seniman dalang bahwa greget, sengguh, ora minggkuh dan nyawiji dan penjelasan pemikiran filsafat Jawa bahwa sulukan wayang sama dengan ngelmu kebatinan atau sebagai kebaktian batin atas kehidupan yang dalam istilah asing lebih tepat disebut sebagai dedication of life. Gambaran atau ilustrasi tersebut di atas terutama konsep manunggaling kawula-Gusti dapat dilakukan dengan baik oleh dalang jika yang bersangkutan telah menguasai dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan yang sesungguhnya berdasarkan konsep greget, sengguh, ora mingkuh, nyawiji, wiraga, wirama, dan wirasa. Penyampaian sulukan wayang sebagai sebagai karya seni sealigus sarana silunglungan, benar-benar membawa dirinya mencapai puncak keindahan utama, yaitu kembali dalam persatuannya dengan sang pusat keindahan yang tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan yang penuh makna, seniman dalang secara bersungguh-sungguh menghayati setiap sulukan wayang yang dinyanyikannya, maka dalang yang bersangkutan ibarat telah masuk di dalam dunia silunglungan sebagaimana dilakukan oleh para pujangga terhadap karya sastra yang digubahnya. Terlebih juga penonton dituntut dapat memahami pertunjukan wayang yang ternyata sajian seni ini mampu menyampaikan pesan-pesan etika yang mengacu pada pembentukan budi luhur atau akhlaqul karimah. Berbagai ajaran etika nilai moral dalam sulukan wayang tersirat di dalam materi sulukan wayang yang bersangkutan yang meliputi, keteladanan moral budi luhur, ajaran tentang kesetiaan pada ucapan, etika dalam berguru, ajaran etika pemimpin yang baik, dan ajaran etika kebijaksanaan serta kesempurnan hidup.

Item Type: Book
Creators:
CreatorsNIM
Kasidi Hadiprayitno, NIP.UNSPECIFIED
Uncontrolled Keywords: Filsafat, suluk wayang, gaya Yogyakarta
Subjects: Karya Dosen
Pedalangan
Divisions: Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Pedalangan
Depositing User: agus tiawan AT
Date Deposited: 29 May 2017 00:43
Last Modified: 29 May 2017 00:43
URI: http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/1688

Actions (login required)

View Item View Item