Seni & Daya Hidup dalam Perspektif Quantum

Dwi Marianto, Martinus (2017) Seni & Daya Hidup dalam Perspektif Quantum. Scritto Books dan BP ISI Yogyakarta:, Yogyakarta. ISBN 9786025945205

[img] Text
bab 1.pdf

Download (25MB)
[img] Text
bab 12.pdf

Download (5MB)
[img] Text
Copy of Wrap up.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (80MB) | Request a copy
Official URL: https://play.google.com/store/books/details?id=_6J...

Abstract

Ada hubungan timbal-balik antara Seni dan Daya Hidup (daya tumbuh / daya gerak / daya levitasional). Ekspresi wajah dan gerak tubuh seorang penari yang sedang in action, sebagai contoh, berubah, ketika ia menyatu dengan tarinya. Auranya memancar. Mind, body, dan spirit dia teranyam erat, memusat sebagai titik api, menghasilkan levitational force – kekuatan yang berkebalikan dari gravitational force. Hal yang sama terjadi juga di medan seni lainnya ketika sang pelaku mampu ‘bergerak, berfikir, dan merespons’ ruang imaginer antara yang material dan immaterial, antara yang maya dan nyata secara bolak-balik. Seusai menyatakan yang tadinya maya, atau sebaliknya, ia memperoleh kelegaan, rasa damai, dan energi baru untuk terus berproses. Berkait dengan dualitas itu, realita alam menurut Viktor Schauberger senantiasa kelindan, atau segala sesuatu itu terhubung dan saling memengaruhi, dimana graviational force dan levitational force (life force) berkoeksistensi. Orang dapat menerangkan “Bagaimana sebuah apel jatuh dari pohon apel” dengan Teori Gravitasi Issac Newton; atau, sebaliknya orang dapat bertanya “Bagaimana mungkin sebuah apel bisa sampai ke pucuk ranting pohon apel?” dengan menggunakan Teori Levitasi Viktor Schauberger. Itulah dua dari sejumlah topik yang termuat dalam Buku Art & Levitational Force. Ini adalah edisi baru dari buku Art & Levitation: Seni Dalam Cakrawala Quantum terbitan Penerbit Pohon Cahaya, tahun 2015. Isi, judul dan perwajahan buku itu direvisi; dilengkapi dengan foto-foto dan informasi yang lebih aktual, dan diterbitkan dalam dua bahasa: English dan bahasa Indonesia. Judulnya: ART AND LIFE FORE In Quantum Perspective Juga untuk perwajahan buku saya mengekspose warna jingga / orange, sebagai warna yang banyak menginspirasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan harapan, antusiasme, dan tentu saja Daya Hidup. Secara khusus saya sering terinspirasi oleh warna-warna kunyit / turmeric, daging buah jeruk, dan warna orange mata burung hantu. Turmeric / curcuma longa, yang sering dipakai sebagai bumbu masak dan juga sebagai bahan utama untuk membuat jamu; jeruk mengandung vitamin C, yang menyehatkan; dan burung-hantu (owl), burung yang sangat cerdas, dan dipakai sebagai tanda keberuntungan oleh berbagai masyarakat di banyak kultur dan negara. Buku ini adalah realisasi passion saya untuk terus mengekspose relasi bolak-balik antara Art (Seni) & Levitational Force (Daya Hidup). Seseorang yang menghayati dan memraktikkan seni dengan passion dan kehadiran diri yang penuh dalam laku seninya, akan mengalami entusiasme dan gairah yang membuat hidupnya lebih hidup. Oleh karenanya buku ini mulai dengan satu pertanyaan mendasar “Apakah Seni Itu?” di Bab Satu; menyoroti fenomena seni, guna menyatakan bahwa intensi, pijakan estetik, dan ungkapan seni itu beranekaragam; semuanya dipengaruhi oleh keunikan budaya dan kekhasan lingkungan, serta kebutuhan spesifik masyarakat dimana seni itu tumbuh dan hidup. Dalam Seni, rupa-rupa cara, media, makna, konsep estetik yang ada, yang senantiasa bergerak dan berubah adalah hikmah dan sekaligus potensi.“Melihat Seni Dalam Pemahaman Quantum” di Bab Dua adalah tawaran penulis untuk memahami seni dengan Teori Quantum, yang mengajarkan bahwa pada tingkatan sub-atomik materi dan energi apa saja adalah dualitas, terdiri dari partikel / gelombang, ying / yang, maya / nyata, atau sebutan dualitas lainnya. Partikel dan gelombang itu saling bertukar-tukaran tempat; yang saat ini partikel, akan jadi gelombang kemudian, dan akan begitu seterusnya secara bolak-balik. Dalam berkesenian yang senantiasa menggali kreativitas, kita dapat berpikir secara non linier bolak-balik, mulai dari sebab ke akibat atau sebaliknya dari akibat ke sebab. Karya seni pun demikian, dapat dipandang dari struktur dan bentuknya, atau dari siratan makna atau pesannya.Bab Tiga berbicara bahwa tindak pengamatan mendalam apapun, secara niscaya mempengaruhi apa saja yang diamati. Objek seni apapun bila diamati secara mendalam, dengan keterbukaan, akan terlihat dan terasa ‘berbeda’; menampak sebagai ruang virtual penuh potensi apa saja. Potensi-potensi ini senantiasa bergerak kesana-kemari, masing-masing berebutan untuk menyembul keluar, agar dinyatakan. Melalui pengamatan mendalam, karya seni yang tadinya biasa-biasa saja, menjadi luar-biasa; atau sebaliknya yang tadinya luar biasa menjadi biasa saja. Bab Empat, Bab Lima, Bab Enam, dan Bab Tujuh adalah berbagai paparan yang berkaitan dengan langkah-langkah standar yang biasa dilakukan dalam proses Kritik Seni, yaitu tahap-tahap: Deskrispsi, Analisis, Interpretasi, dan Penilaian. Sebenarnya keempat langkah Kritik Seni ini kait-mengait atau tumpang tindih. Pemilahan menjadi empat bab hanyalah bersifat teknis semata, untuk memudahkan pembaca memahaminya.Bab Delapan “Relasi Antara Seni dan Metafor”, membahas relasi antara seni dan metafor. Makna kata “metafor” sendiri adalah inti bahasa, atau inti dari seni itu sendiri. Sebab seni yang baik adalah seni yang mempu mengiaskan suatu permasalahan aktual dengan cara yang baru, kreatif dan meyakinkan. Metafor-metafor baru selalu saja muncul, karena manusia senantiasa membutuhkan media segar untuk mengartikulasikan suatu permasalahan baru melalui kiasan yang baru pula.Bab Sembilan “Relasi Bolak-Balik Antara Seni dan Daya Hidup”, berbicara mengenai hubungan antara seni dan daya hidup (levitational force / prana / chi). Dalam ini penulis menyoroti karya seni, aktivitas seni, dan konsep seni yang secara langsung maupun tidak, membangkitkan daya hidup, minimal bagi si pelakunya. Bab ini menyoroti berbagai temuan dan teori Viktor Schauberger (1885 – 1958), seorang penjaga hutan yang selama hampir 20 tahun, seorang diri, mengamati hutan alami di Austria. Ia mengobservasi dan mencatat berbagai gejala tentang Alam dan Kesinambungan Ekosistem di hutan; dan memroduksi berbagai alat melalui teknologi alternatif, berpijak pada prinsip ekosistem dan gerak Alam itu sendiri.Bab Sepuluh membahas tentang “Daya Hidup dan Keberagaman”, sekaligus sebagai judul untuk tulisan Bab Sepuluh; membicarakan peran keberagaman dalam kesinambungan ekosistem, dan juga perannya bagi kesinambungan kehidupan sosio-kultural. Hanya dalam keadaan yang multikultural lah, menurut Schauberger, simbiosis mutualisme dapat terjadi.Bab Sebelas adalah artikel berjudul “Berfikir Dengan Rasa, Meraksasakan Rasa”, yang mengulas pentingnya pemahaman akan rasa. Rasa adalah esensi dari sesuatu. Pendekatan rasa telah lama dipakai dalam dunia cipta-menyipta dan pertunjukan seni. Dalam Seni ada salah satu cara yang sangat penting, yaitu menyangatkan (esensi) rasa sesuatu, agar rasa yang mau diseberangkan kepada pemirsa itu membesar berlipat ganda, sehingga teralami secara lebih nyata.Bab Dua-belas adalah pembahasan tentag EcoArt, yaitu upaya memprovokasi masyarakat untuk semakin mengindahkan dan ikut menopang kesinambungan ekosistem. Banyak seniman yang melalui karyanya mengampanyekan isyu tentang perlunya kesadaran bersama untuk ikut memedulikan dan menyangga kesinambungan ekosistem. Konsep tentang realita, pemahaman seni, dan karya-karya seni yang hadir dalam buku ini adalah hasil diskusi dengan orang-orang yang pikirannya impresif dan mencerahkan. Saya bersyukur dulu sering berbincang-bincang dengan penari Ben Suharto (Swargi) tentang realitas quantum dalam kaitannya dengan seni. Beruntung rasanya berkawan dengan seniman Guntur Songgolangit, yang membuka kesadaran penulis tentang hubungan timbal-balik antara Seni dan Daya Hidup. Pemahaman saya tentang Daya Hidup menjadi semakin kental setelah seniman aktivis sosial Yos Suprapto mengenalkan saya pada berbagai temuan dan catatan tentang Alam dari Viktor Schauberger, yang sangat istimewa. Pertemuan penulis beberapa kali dengan pembuat wayang Sigit Sukasman (swargi), dan perkawanan saya dengan Heri Dono - salah satu murid Ki Sigit Sukasman – juga berdampak positif atas pemahaman saya tentang arti penting pengkarikaturan / penyangatan dalam berolah seni.

Item Type: Book
Creators:
CreatorsNIM
Dwi Marianto, Martinusnidn0019105606
Uncontrolled Keywords: seni rupa, quantum, kritik seni
Subjects: Seni Murni > Seni Lukis
Divisions: Fakultas Seni Rupa > Jurusan Seni Murni > Seni Lukis
Depositing User: agus tiawan AT
Date Deposited: 12 Nov 2020 05:20
Last Modified: 12 Nov 2020 05:20
URI: http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/7125

Actions (login required)

View Item View Item