Martiara, Rina (2017) Cangget Sebagai Narasi Simbolik Lampung Dalam Keragaman Budaya Nusantara. In: Seminar Nasional dengan Tema “Narasi Simbolik Cipta Seni Nusantara” di Pascasarjana ISI Denpasar, 18 November 2017, Denpasar.
Text
Rina Martiara, makalah seminar Bali.doc Download (13MB) |
Abstract
Dalam pertaliannya dengan konseptualisasi kebudayaan inilah, pencarian nilai-nilai ‘ke-Indonesiaan’ seseorang dibutuhkan dengan menggali teks budaya dan mengaitkan konteks pada masa lampau dan mencari titik temu di masa sekarang. Di awal kebangkitan nasional cita-cita pendiri bangsa ini adalah melihat diri sebagai bagian dari generasi yang didera oleh masa depan yang hendak menciptakan sesuatu yang baru dari sebuah kondisi terjajah, terkebelakang, terhina; sesuatu yang bukan lagi bisa disebut sebagai ‘Jawa, Melayu, Ambon’. Oleh karenanya makna kesetaraan, kesejajaran, bukan lagi identitas yang menunjukkan lapisan sosial, melainkan sebuah ‘identitas horizontal’ sebagaimana kata ‘Melayu’ dimaknakan. Nama ini menjadi penanda dalam pengelompokan sosial yang berbeda-beda tetapi setara—terutama dalam pandangan kekuasaan kolonial orang Eropa dalam memandang bangsa ini. Maka kehendak membebaskan diri dari kolonialisme dan pandangan yang membekukan, merupakan bagian dari pembebasan itu. Sejarah bangsa ini sebagai ‘negara seribu kepulauan’, tidak bisa disamakan dengan negara-negara di semenanjung, terlebih negara di benua. Sejarah bangsa ini adalah sejarah ‘para musyafir lata’, ‘para pejalan yang tidak punya apa-apa selain kebebasannya dalam menjelajah’. Indonesia lahir dari penjelajahan itu. Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengangkat milik yang diwariskan masa lalu, baik dalam wujud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu sebabnya ‘Indonesia’ dan ke-‘Indonesia’-an selalu terasa genting, tapi dengan itu justru punya makna yang tak mudah disepelekan. Pengakuan “bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, berbahasa satu, --Indonesia—” yang tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme dari permulaan abad ke-20 yang berjiwa anti kolonialisme merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira dalam mengintegrasikan masyarakat Indonesia. Ia merupakan kesadaran nasional yang menyebabkan penduduk kepulauan Nusantara merasa sebagai ‘satu’ bangsa, tidak saja di dalam artian hukum, melainkan lebih-lebih sebagai kenyataan psikologis yang membedakan apakah seseorang termasuk sebagai warga dari bangsa Indonesia atau tidak. Sehingga, janganlah sekali-kali mau disebut ‘Indon’ untuk siapapun anak negeri ini, tetapi sebutlah ‘aku’ dengan lantang sebagai ‘Indonesia’. Oleh karenanya pengertian akan perbedaan, akan menjadikan kita memahami makna perbedaan. Perbedaan bukan lagi harus dilihat sebagai ancaman, tapi justru sesuatu yang saling melengkapi. Perbedaan dipakai sebagai alat pembanding yang menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kita saling membutuhkan. Kita harus mulai merasakan kedekatan dalam perbedaan, hingga tanpamu aku bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa. Tanpamu aku tidak menjadi manis, karena kau cantik. Tanpamu aku bukan si hitam, karena kau putih. Hingga akhirnya anak-anak Indonesia akan berkata, “Kami bangga menjadi anak Indonesia, karena kami berbeda dengan anak yang bukan Indonesia. Oleh karena kami punya Aceh, Batak, Nias, Minang, Palembang, Bengkulu, Jambi, Lampung, Bangka-Belitung, Betawi, Sunda, Banten, Jawa, Osing, Raas (Madura), Dayak, Melayu, Papua, Ternate, Ambon, Bugis, Makassar, Flores, Tidore, Manado, Bali, Sasak, Bajau. Jayalah Indonesia. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!”.
Item Type: | Conference or Workshop Item (Speech) | ||||
---|---|---|---|---|---|
Creators: |
|
||||
Uncontrolled Keywords: | tari, cangget | ||||
Subjects: | Tari > Pengkajian Tari | ||||
Divisions: | Fakultas Seni Pertunjukan > Jurusan Tari > Seni Tari (Pengkajian) | ||||
Depositing User: | agus tiawan AT | ||||
Date Deposited: | 18 Feb 2021 11:12 | ||||
Last Modified: | 18 Feb 2021 11:12 | ||||
URI: | http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/7740 |
Actions (login required)
View Item |